Judul: Seniman Kaligrafi Terakhir
Judul Asli: La Nuit des Calligraphes
Pengarang: Yasmine Ghata
Penerjemah: Ida Sundari Husein
Penerbit: Serambi (2008)
ISBN: 978-979-02-4005-6
Jumlah Halaman: 206 halaman
Penerbitan Perdana: 2004
Sinopsis:
"Kematianku selembut pucuk pandan air yang dicelupkan ke dalam tempat tinta, lebih cepat daripada tinta diserap kertas."
Demikianlah kata Rikkat, seniman kaligrafi Utsmani, dengan suara mengalun antara kegelapan dan cahaya, ketika ia mulai menulis kisah hidupnya.
Dengan meramu dunia seni kaligrafi yang kurang dikenal, wilayah yang serba aneh dan mistis, dengan Turki Kontemporer yang terbuka akan pengaruh Barat, Yasmine Ghata menulis sebuah roman perdana yang indah sekaligus klasik dan penuh ilham berdasarkan kisah nyata yang menggugah.
Aku suka ceritanya tapi tidak suka cara berceritanya. Padahal pov nya cukup menarik, yaitu bagaimana sosok Rikkat Kunt, sang kaligrafer yg sudah berpulang, kembali untuk menceritakan kisah hidupnya. Sayangnya, penjabaran emosi Rikkat di sini sama sekali tidak tertangkap, jadi rasanya seperti jalan lurussss tanpa ada belokan tanjakan turunan.
Rikkat adalah seorang perempuan yang lahir di permulaan 1900an. Sejak kecil ia memang sudah punya bakat menggambar yang menonjol, sehingga suatu saat ia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten para kaligrafer paling mumpuni di sebuah sanggar. Tidak heran pula bahwa ia mampu -secara tidak langsung- belajar pada Selim, sesepuh paling dihormati di sanggar itu. Ketika Selim memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, Rikkat mendapatkan dirinya diwarisi seperangkat peralatan kaligrafi bermutu tinggi. Dari situlah ia mulai benar-benar menekuni profesi sebagai kaligrafer, sebuah profesi yang amat jarang dijalani seorang wanita.
Aku telah memulas kertas itu. Telah kupoles dengan bahan yang menempel, yang dicelup dalam rebusan teh, lalu dipulas lagi dengan lapisan pelindung untuk mencegah tinta merembesi lembaran itu. Setelah kering, aku memolesnya dengan batu sileks. Murid-muridku terkagum-kagum mengikuti irama batu poles di atas kertas yang menjadi selembut sutra. Dengan bantuan benang yang dibentangkan dengan jarak teratur, aku menggoreskan garis-garis, lalu membiarkan tanganku mengikuti sabda Rasulullah dan kalam yang menggoreskan tiang-tiang hitam dan tebal sebuah hadis. Kulihat tinta berbaring, tidak sabar menunggu perintah. (hal. 16)
Pada tahun 1928, Republik Turki menggantikan tulisan Arab dengan suatu versi abjad Latin yang disesuaikan. Abjad baru tersebut suatu ketika diperlihatkan kepada Mustafa Kemal, yang kemudian merombak budaya nasional Turki sepenuhnya. Pakar ilmu bahasa saat itu meminta waktu 5 tahun kepada Sang Ataturk untuk menetapkan abjad baru mereka, namun mereka hanya mendapat waktu 3 bulan saja.
Perubahan ini tentu saja berdampak paling besar pada para seniman kaligrafi. Sebuah pekerjaan yang awalnya sangat terhormat namun kemudian tersia-sia. Dengan getir para kaligrafer mendapatkan kenyataan bahwa sejak abjad berubah dan gambar diizinkan, tulisan indah tak punya tempat lagi. Para kaligrafer terlupakan di sudut negeri.
Darah seniman kaligrafi tak sama dengan manusia lainnya. Darah itu menggelap karena kontak dengan tinta. Para seniman kaligrafi menulis dalam diri mereka sendiri, kemudian menampilkan sebagian dari daging mereka yang menghitam karena abjad. Sabda Yang Maha Agung tidak pernah tertulis dengan cukup baik. (hal. 73)
Demikianlah bertahun-tahun berlalu. Hampir sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Turki memutuskan untuk melestarikan kesenian kaligrafi sebagai bentuk seni tradisionalnya. Dalam sebuah sayembara menulis kaligrafi, Rikkat -yang telah bersuami dan memiliki seorang anak- dengan mudah memenanginya dengan kehalusan goresan kaligrafi setingkat pakar. Kesempatan menjalani jalannya sebagai seorang kaligrafer akhirnya diambil oleh Rikkat, walau sempat mengalami dilema dan tentangan dari berbagai pihak termasuk keluarganya sendiri.
Dan pekerjaanmu, apa itu sebenarnya? Menulis bahasa yang telah dilarang, memuja Tuhan yang telah diusir? (hal. 80)
Kisah Rikkat Kunt, sang kaligrafi wanita yang berjuang menghidupkan sisa-sisa keagungan seni tulisan indah itulah yang menjadi tarikan alur novel ini. Di sela-selanya, kehidupan keluarganya yang juga penuh dengan naik turunnya putaran takdir, kebahagian dan kesedihan hadir bergantian. Bagaimana ia kehilangan perangkat menulisnya yang indah, sesedih ia harus melepaskan putra keduanya pada keegoisan seorang laki-laki. Begitu pula saat tangan-tangan halusnya memperbaiki koleksi kaligrafi lawas, sekuat hatinya memperbaiki benang-benang yang menghubungkannya dengan sang anak. Hingga akhirnya tidurnya abadi.
Seniman kaligrafi tidak pernah mati. Nyawa mereka berkelana di perbatasan dunia hunian untuk mencari peralatan kerja mereka. Tuhan menggunakan mereka untuk mengungkapkan sabda-Nya. Para Nabi mengkhotbahkannya, para seniman kaligrafi menuliskannya. (hal. 69)
Sungguh sebuah novel mungil yang sarat makna.
Karena dalam data buku tertulis diterjemahkan oleh Ibu Ida Sundari Husein, jadi bisa dipastikan novel ini dialihbahasakan langsung dari bahasa Perancis aslinya. Terjemahannya mengalun pelan, enak dinikmati, penuh dengan penggambaran indah proses penulisan kaligrafi dari tiap goresan tintanya, hingga penumpahan isi hati sang kaligrafer, tapi memang seperti yang kutuliskan di awal, emosi-emosi Rikkat kurang terjabarkan di sini. Typo tidak kutemukan. Untuk judulnya, sedikit aneh karena diterjemahkan Seniman Kaligrafi Terakhir (karena jelas Rikkat bukan yang terakhir) dan bukannya secara literal, seperti Malam-malam sang Kaligrafer, atau semacam itulah.
Untuk covernya, jyah.... tulisan kaligrafi kok *jelek* gitu sih. Padahal dalam penjabaran kisahnya, wuih... puitis sekali, tiap goresan punya arti mendalam. Jauh lebih suka cover asli edisi Perancisnya!
Postingan ini dibuat untuk mengikuti event Baca Bareng BBI
Bulan: Februari2015
Tema: Profesi
https://www.goodreads.com/review/show/1195259804
Iya ih kok sampulnya kurang mewakili buku sebagus ini
BalasHapussampulnya.... seadanya mas di XD
HapusLOL iya aku jadi ngeliatin covernya, kayak nggak niat ya.. menarik ya ceritanya, aku suka buku yang membahas profesi unik seperti ini :)
BalasHapusiya mbak, mosok kaligrafer bikin huruf S aja miring-miring.... :p
Hapusprofesi unik yang tersingkirkan karena perubahan politik
Asal S nya ga mirip sama tulisan Semarang di Trans Semarang....wkwkwk.... #komenganyambung...
BalasHapus