Judul: To Live - Hidup
Judul Asli: 活著 (Huó Zhe)
Pengarang: 余华 (Yú Huá)
Penerjemah: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2015)
ISBN: 978-602-03-1382-5
Jumlah Halaman: 224 halaman
Penerbitan Perdana: 1993
Sinopsis:
Dari seorang anak tuan tanah kaya yang menghabiskan waktu di meja judi dan ranjang pelacur, Fugui kehilangan harta dan orang-orang yang dicintainya. Dia berusaha bertahan hidup di tengah kekejaman perang saudara, absurditas Revolusi Kebudayaan, hingga bencana kelaparan yang melanda China akibat kekeliruan kebijakan Mao. Kisah tragis kehidupan seorang Fugui merangkum kengerian perjalanan sejarah negeri China di tengah ingar-bingar revolusi komunis.
To Live adalah karya kontroversial salah satu novelis terbaik China yang sempat dilarang beredar di China, telah meraih berbagai penghargaan sastra internasional, difilmkan, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Dengan kata-katanya yang sederhana namun bergemuruh dan menggugah, Yú Huá bercerita tentang sebuah China. Yang begitu nyata, tanpa basa-basi. .
Seberapa kuatkah seorang manusia menahan kesedihan yang datang satu per satu tanpa henti?
Dalam novel Hidup ini, tokoh Xu Fùguì membuktikan bahwa penderitaan memang harus ditanggung, bukan untuk disesali atau ditangisi berlebihan. Nasib buruk bisa saja menjadi takdir, namun di kemudian hari bisa saja ia menyimpan keuntungannya sendiri. Membuat kesalahan dalam menjalani hidup pasti terjadi, tapi hidup untuk memperbaikinya jauh lebih berharga.
"Sampai di tanganku, sapi keluarga Xu jadi kambing, kambing jadi angsa. Sampai di tanganmu, angsa jadi ayam, sekarang ayam pun tak ada lagi." (hal.35)
Perjalanan hidup Fugui bagaikan pendulum yang bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain. Fugui muda lahir dan dibesarkan sebagai putra seorang tuan tanah kaya, ia tidak pernah mengenal kata susah atau lapar. Ia bahkan tidak pernah berjalan jauh karena selalu tersedia kuli-kuli gendong yang dibayar hanya untuk membopongnya di pundak mereka. Setelah sempat berfoya-foya dan menghabiskan harta keluarga, kehidupan masa dewasa hingga tuanya sungguh-sungguh dipenuhi kerja keras, menghabiskan waktu seharian penuh bekerja di sebidang kecil sawah, yang sekarang bahkan bukan lagi miliknya. Perubahan sosial yang terjadi di Tiongkok saat itu mempengaruhi semuanya, dan Fugui mau tidak mau ikut mengalami keabsurdan perang, datangnya reformasi tanah, pemberontakan kaum Nasionalis hingga Revolusi Budaya Ketua Mao.
Kehidupan keluarganya juga tak sepi dari penderitaan. Fugui yang diberkahi ibu yang sangat menyayangi dan istri yang luar biasa setia, serta sepasang putra dan putri yang berbakti, juga menantu dan cucu, perlahan-lahan harus merelakan pada tragedi dan maut yang mengambil mereka satu per satu. Hingga akhirnya hanya tersisa Fugui dan sapinya.
"Aku juga tak mau keberuntungan apa-apa. Aku sudah cukup bahagia jika tiap tahun bisa bikinkan kamu sepatu baru." (hal.81)
Meski jalinan kisahnya amat sangat mengenaskan, anehnya, *mungkin tertular semangat, keyakinan dan kemauan hidup Fùguì* aku sama sekali tidak merasakan depresi saat membacanya. Sedih iya, satu dua titik air mata juga meleleh sendu, tapi kenangan yang kuambil dari novel ini justru saat-saat Fugui tersenyum menggendong Jiazhen, atau Erxi bergandengan Fengxia berjalan bersama, atau saat mengingat Youqing yang sedang memberi makan kambing-kambingnya. Karena bahagia itu sederhana dan hidup adalah untuk hidup, sebaik-baiknya hidup.
Sebuah cerita yang dengan sangat polos, dengan kata-kata sangat sederhana dan penyajian sejujur-jujurnya, mampu menyajikan jalan hidup sarat derita lelaki buruh tani di tengah arus perubahan politik dan budaya negeri Tiongkok. Saat perang berkecamuk, revolusi bergolak dan ideologi berganti, kisah manusia yang membentuk bangsa adalah kisah-kisah kecil penuh makna yang terjadi di bantaran sungai perubahan tersebut. Dan novel ini mampu menangkap penuh esensinya.
Edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan dari bahasa aslinya dengan sangat bagus oleh Agustinus Wibowo. Rasa bahasanya masih tertangkap dengan indah, dari yang gaya bahasa formal sang narator cerita, gaya pengkisahan Fùguì yang santai hingga ceplosan kata-kata orang-orang kampung. Ditambah lagi romanisasi pinyin yang tertata apik dan sedikit catatan kaki yang menerangkan arti karakter nama masing-masing tokoh, menambah nilai edisi terjemahannya. Di akhir buku ada sedikit tulisan purnakata dari sang penerjemah yang makin melengkapi latar belakang novel ini. Typo tak ada yang kutemui. Ilustrasi covernya juga sangat kusukai. Artistik dan sesuai dengan isi cerita.
Jadi gak sabar menunggu Brother dan Chronicle of a Blood Merchant yang katanya akan menyusul diterbitkan oleh GPU juga.
Notes:
Novel ini kemudian diangkat menjadi film yang dibesut oleh sutradara kawakan Zhang Yimou. Seperti novelnya yang sempat di-banned di negerinya sendiri, film To Live juga dilarang beredar di Tiongkok dan sang sutradara dihukum tak boleh berkarya selama dua tahun.
*katanya versi film gak setragis versi bukunya, terutama di bagian endingnya*
*belum nonton,
https://www.goodreads.com/review/show/1216924643
Di YouTube sdh Ada versi lengkapnya, kakaaa... English subtitle lagi :))
BalasHapustadi dl torrent-nya, tapi blm ditonton juga, ditimbun dulu.... *u know why* :D
HapusIni buku pas mulai baca gak bisa saya letakkan bikin nangis-nangis segala :))
BalasHapusFilmnya gak segelap bukunya, yang mati cuma dua orang. Setting juga dirubah tadinya di daerah pedesaan jadi di kota. Fugui bukan lagi petani tapi pemain wayang istrinya pedagang air panas. Agak lebih melek politik juga. Baik buku maupun fim sama bagusnya kalau menurut saya :p