Kamis, 02 Mei 2013

TKVDW



Judul buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Pengarang: Hamka
Penerbit: PT Bulan Bintang (1984)
ISBN: 9789794180556
Cetakan ke: 16
Jumlah Halaman: 226 hal
Terbit pertama kali: 1937




Dari Sinopsis:
Cerita ini berkisar tentang semangat juang Zainuddin, bagaimana merana dan melaratnya hidup Zainuddin setelah cintanya ditolak oleh keluarga Hayati. Kemudian beliau bangun semula dari segala kedukaan, membuka lembaran baru dalam hidupnya menjadi seorang penulis yang ternama dan berjaya. Ia menceritakan tentang kesetiaan, cinta dan kasihnya Zainuddin terhadap Hayati. Meski Hayati sudah berkahwin tetapi sebaik mendapat tahu tentang kesusahan yang dihadapi Hayati, lantaran suaminya yang suka berpoya-poya serta tidak bertanggung-jawab, Zainuddin terus membantu tanpa ada dendam dan benci. Sesungguhnya cinta yang suci itu akan terus mekar di dalam hati hingga ke hujung nyawa begitulah jua cinta antara Zainuddin dan Hayati.


Alkisah adalah seorang anak muda, santun sikapnya, alim perangainya, cakap pula paras wajahnya. Zainuddin, demikianlah orang memanggilnya. Sayang sungguh disayang, bagai perahu mandar berlayar, Zainuddin ini tidaklah punya pantai untuk bersandar. Di negri ibunya, Mengkasar, tali keluarga telah terputus karena ia berayah tiada dari tanah Karabosi. Di negri bapaknya, tanah Minang nan permai, terlebih lagi, tiada bermamak tiada bergedang. Bangsa ditarik dari ibu, maka ia tidaklah bersuku. Kalau tidak emas dikandung, jangankan bako, dunsanak pun bisa jadi rang lain.

Terkisah pula seorang remaja putri, Hayati namanya. Turunan tuan Gedang Batipuh, bunga dalam rumah adat bergonjong ampat bersimbol sepasang pedang bersentak. Kepadanyalah kemudian hati Zainudding bergayut. Namun apa mau dikata. Adat lebih dalam daripada buhul kelapa. Wang lebih elok daripada kemaslahatan. Meski pernah mengucap janji pada Zainuddin, Hayati memilih menginai tangan pada Azis.

Ibarat hujan, selebat-lebat hujan, akhirnya teduh juga, tangis Zainuddin akhirnya reda. Terusir dari Padang, nasib membawanya terdampar di tanah Jawa. Dari menulis hikayat-hikayat hingga jadi pengarang mashyur. Berwang dan ternama, tidaklah sombong ataupun keras hati, malahan suka beramal dan memikir kepentingan bangsa. Duhai, pucatnya muka Hayati melihat Zainuddin yang baru.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Azis ternyata tak seberbudi yang disangka. Uang habis untuk berjudi, rumah tak ada, kerja melayang. Kepada siapa harus meminta, jika bukan pada Tuan Zainuddin.

Meski talak telah jatuh antara Azis dan Hayati, hati Zainuddin masih terluka saat dikata tidak beradat. Meski bimbang, pantang pisang berbuah dua kali, keputusan pun dijatuhkan, Hayati hendaklah pulang ke negri Minang dengan menumpang Kapal Van der Wijk....


***


Roman ini (meski sempat berlebai-lebai membaca surat Zai dan Hayati) sungguh membuatku tidak rela berhenti membacanya. Jika hendak dikatakan bahwa kisahnya bak tragadi Romeo and Juliet yang berakhir di setting kapal Titanic, bagiku masih banyak sekali sisi lain yang dapat dikaji. Misalnya, sekali lagi adat mamak-keponakan dari negri Padang mendapat sorotan tajam dalam karya sastra melayu kita. Dari ketidakadaannya satu personel kunci (yaitu: saudara perempuan) dari sebuah keluarga Minang yang menyebabkan adat menjadi timpang bagi seorang pemuda, yang akhirnya terlunta-lunta dan terusir dari kampungnya, hingga pada urusan generasi berikutnya, yaitu lahirnya seorang anak yang apatride. Bukan bugis, karena ayahnya bukan keturunan makassar, bukan pula minang karena ibunya bukan padang. Secara halus, kisah ini menceritakan kegalauan #halah hati si anak karena merasa tidak ada tempat untuk dapat dikatakan tanah air.

Sisi lain yang diulas, misalnya berbedanya pendapat masyarakat terhadap harta dan kekayaan vs akhlak dan pendidikan. Meskipun sedikit klise, memperbandingkan nasib Azis vs Zai di masa lampau dan masa depan, namun pesan yang diberikan mudah ditangkap pembaca.

Sisi lainnya lagi, bahwa nasehat yang baik kadang datangnya dari orang yang tak terduga, seorang Parewa yang biasa dipandang rendah pun kadang bisa jadi seorang bijak.

Karakter-karakter yang diberikanpun tidak sangat hitam dan putih, sangat manusiawi. Azis yang meskipun "yah...begitulah..." namun ada juga niat untuk berubah, meskipun seddiiikit. Begitu pula Zai, ada saat-saat di mana karakter Zai menjadi naif, manis dan lugu, ada saat dia menjadi menyedihkan sekaligus menjengkelkan (beberapa suratnya menjelang perkawinan Hayati sungguh keterlaluan!!!!) tetapi ada pula saat kedewasaan tercermin dalam perbuataannya. Muluk, yang kasar dan tidak terpelajar, namun setia dan selalu terus terang. Hayati...., yah tentang Hayati apalah mau dikata, salahkah dia saat memilih adat dan kemudahan daripada perasaan (dan perlu diingat, buku ini ditulis tahun 1938).
Akhir cerita yang demikian tragis, bagi saya menjadikannya indah dan membuat jadi terkenang-kenang.

Andai saja Zai tidak demikian keras hati...

Andai saja Zai tidak pergi ke Malang....

Andai saja Hayati naik kereta ke Jakarta....

Andai saja Azis menulis surat seminggu lebih lambat....

Andai saja.....




*Andai saja ini chicklit, terbayang Zai sadar dan menyesal, lalu adegan berlari-lari di pelabuhan mencari Hayati sebelum ia sempat naik ke kapal...*


***


Faktanya, Kapal Van Der Wijck adalah kapal uap milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang merupakan cikal bakal Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). Kapal ini dibuat oleh Maatschappij Fijenoord, Rotterdam pada  tahun 1921 dengan berat tonase 2.596 ton dan lebar kapal 13,5 meter, dan mendapat nama panggilan de meeuw atau The Seagull, karena sosok dan penampilan kapal ini yang tampak sangat anggun dan tenang.

Pada saat itu kapal itu melayani route pelayaran di kawasan perairan di Hindia Belanda. Saat pelayaran terakhirnya yang naas itu, kapal Van der Wijck berangkat dari Bali ke Semarang dengan singgah terlebih dahulu di Surabaya. Malang baginya hari Selasa tanggal 20 Oktober 1936 Kapal Van Der Wijck tenggelam ketika berlayar di perairan Lamongan, tepatnya 12 mil dari pantai Brondong. Jumlah penumpang pada saat itu adalah 187 warga Pribumi dan 39 warga Eropa. Sedangkan jumlah awak kapalnya terdiri dari seorang kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal dan 80 ABK dari pribumi (sumber yang lain menyebutkan jumlah berlainan, kemungkinan karena manifest penumpang dan kenyataan sebenarnya juga berbeda).

Nama Van Der Wijck sendiri diambil dari nama Carel Herman Aart van der Wijck, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diangkat Ratu Emma van Waldeck-Pymont pada tanggal 15 Juni 1893. Ia mulai memerintah tahun 17 Oktober 1893 sampai 3 Oktober 1899.




3 komentar:

  1. Dapat buku ini dari mana? Aku pengin baca lho.

    Yep, Hamka alias Haji Abdul Malik Karim Amrullah. sastrawan besar Indonesia yang telah menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Karya sastra yang abadi, tak lekang oleh zaman. Menemukan bahasa lebay, bisa jadi karena merupakan karya sastra maka harus diberi bumbu sastra biar terasa khas cita rasa sastranya. Bukan begitu? :)

    BalasHapus
  2. Betul, plus aku juga suka endingnya yang super tragis itu :-P

    Dapat buku ini minjam dari teman (Pra) GRI-Semarang yang memang hobi mengumpulkan buku-buku sastra, sejarah, perang, dll. Menurut teman yang lain, versi ebook-nya (pdf) sudah banyak beredar di inet, tp saya belum mencari sih. Yang sudah dapat malah ebook Di Bawah Lindungan Kabah.

    BalasHapus
  3. udah sering banget denger buku ini.tapi belum smpet baca. keren ya! :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget