Judul: A Street Dream: The Evergreen Architecture
Judul Asli: A Street Dream: The Evergreen Architecture
Pengarang: Angel G.
Penerbit: CV. Evergreen Creative House (2013)
ISBN: 978-602-14-2330-1
Jumlah Halaman: 510 halaman
Penerbitan Perdana: 2013
Menyimpan mimpi untuk mengubah dunia dengan kejujuran, jutawan muda Sean Walker mengubur masa lalu gelapnya di balapan liar hutan evergreen bersama kisah misterius lenyapnya Billy. Kehidupan barunya sebagai pembalap nasional sekaligus mahasiswa biasa di departemen arsitektur malah mempertemukannya dengan sahabat-sahabat tak biasa:
Nathan Evan—mahasiswa miskin nyaris dropped out yang berjuang menjadi DJ berbekal sepasang turntable tua, di tengah trauma akan kematian adiknya yang tertembak dengan kepala pecah dalam perkelahian gangster di club kota.
Rachel Scott—mahasiswi arsitektur teladan yang tak pernah percaya pada mimpi.
George Thomas—mahasiswa Departemen Musik yang membawa handgun kemana pun, rapper mantan penghisap ganja yang lahir dari kerasnya kehidupan kumuh ghetto penuh kriminalitas.
Cerita anak-anak muda yang mempertaruhkan sebuah keyakinan, mengejar mimpi, dan mencari arti kejujuran yang akhirnya malah mereka temukan di jalan jalan pinggiran kota. Mulai dari kisah imigran gelap yang menjadi pembalap kriminal di pinggir pelabuhan, corat-coret pemberontakan dalam graffiti ilegal di dinding lorong lorong kota, cinta seorang stripper, hingga penari dan rapper-rapper jalanan yang mengejar mimpi di bawah garis kemiskinan. Mulai dari nyaris terbunuh berandal-berandal kota yang berjuang bertahan hidup, anak kecil buruh perkebunan yang mengajarkan makna terbang tanpa sayap, hingga cerita kakek tua yang menjadi penyanyi jalanan di atas kursi roda.
Sebuah kisah yang tidak biasa, unik, dan (sayangnya) tidak untuk semua orang. Yup, I'm reffering to the amount of english sentences during the story. And not just plain english, it's gettho-english, load with all the slang and street grammars. Bahasa Inggris digunakan hampir di setiap halaman, dan bukan sebagai hiasan yang bisa dilewati begitu saja, namun benar-benar sebagai quotasi percakapan penyampai cerita. A true confabulations.
Kisahnya sendiri tentang orang-orang muda yang berusaha mengerti apa sebenarnya keinginan dan cita-cita mereka. Terlepas dari pengharapan orang-tua, terlepas dari beban finansial, terlepas dari semua pembuktian diri dan pandangan masyarakat, apa yang sebetulnya mereka impikan sebenar-benarnya. Hal-hal yang membuat mereka bahagia, rumah bagi jiwa mereka. Jalan ceritanya sendiri cukup rumit dan meliuk. Kisah ini juga punya banyak karakter yang memiliki beragam latar dan persoalannya masing-masing dan semuanya saling membelit. Banyak twist sepanjang cerita, dan lebih banyak lagi kejutan menjelang akhirnya. Untunglah semuanya berhasil disimpulkan dengan rapi, tanpa ada yang tertinggal.
Kisahnya sendiri tentang orang-orang muda yang berusaha mengerti apa sebenarnya keinginan dan cita-cita mereka. Terlepas dari pengharapan orang-tua, terlepas dari beban finansial, terlepas dari semua pembuktian diri dan pandangan masyarakat, apa yang sebetulnya mereka impikan sebenar-benarnya. Hal-hal yang membuat mereka bahagia, rumah bagi jiwa mereka. Jalan ceritanya sendiri cukup rumit dan meliuk. Kisah ini juga punya banyak karakter yang memiliki beragam latar dan persoalannya masing-masing dan semuanya saling membelit. Banyak twist sepanjang cerita, dan lebih banyak lagi kejutan menjelang akhirnya. Untunglah semuanya berhasil disimpulkan dengan rapi, tanpa ada yang tertinggal.
"...never forget the memory, just forgive the pain." (h.195)Tokoh utama novel ini pastilah Sean. Sean Vicenzo Walker. Pembalap profesional, jutawan muda, mahasiswa arsitektur yang selengekan. Awalnya aku suka sebal pada Sean. Mudah saja ia bersikap seperti itu di universitasnya, he got nothing to loose. Tapi pelan-pelan ia menampilkan wajah lain di balik topeng tak peduliannya. Ada duka mendalam terkubur di masa lalunya. Ia juga sungguh-sungguh peduli pada teman-temannya. Dengan caranya sendiri. Di waktu yang dipilihnya sendiri. Menjelang pertengahan kisah, aku sungguh-sungguh jatuh suka padanya. In the end, I wish Sean was not that perfect, young handsome dumbly-smart loaded-rich truely-nice lonely bad boy. Oh yeah... he even great with little kids too. Superb, isn't he? Naaa... booooring, made the lime light he deserved shifted from him to Nathan.
Nathan Evans, si DJ klab malam yang sangat peka pada tunes dan nada suara - tapi tidak bisa membaca not balok - ini, sungguh-sungguh manusia setengah-setengah. Jatuh cinta setengah mati pada musik, tapi setengah hidup mempertahankan kuliah arsitekturnya, jurusan yang dipilihkan ayahnya. Sepanjang novel, pergolakan hati Nathan ini #jyaah menjadi benang merah kisah yang sesungguhnya. Apalagi ditambah kenangan kelam tentang adiknya yang mati mengenaskan, kisah cintanya dengan Mary si penari, serta pertikaiannya dengan sang ayah, Matthew Evan, yang tak kunjung dapat diselesaikan.
"You're born, to make difference! I ain't want you search for money to buy fake happiness! I just sometimes force you to fight, so that your real happiness, bring you all the money!" (h.140)
Lalu ada pula Rachel Scott. Mahasiswa teladan, kesayangan dosen, kebanggaan Ayah. Perfeksionis. Ambisius. Sedikit sok tahu, tapi benar-benar berniat baik. Berbagai piala dan penghargaan berjejer di lemarinya. Tapi kenapa saat melakukan semua itu, ia sendiri tidak dapat tersenyum lepas?
"...Nobody can tell, in what way you feel happy or unhappy. You're the one who fell it." (h.364)
Selain itu masih ada beberapa karakter tambahan yang membuat kisah novel ini jadi lebih hidup dan berwarna. Ada George Thomas, jagoan rapper kulit putih gaya Eminem, yang bikin dosen musiknya putus asa mengajarinya dasar-dasar musik klasik, tapi akhirnya malah jatuh cinta berat pada lagu seriosa ala Pavarotti. Ada Maria Fernandez, yang jago nge-dance tapi hampir jadi stripper karena tekanan finansial. Meski demikian ia tetap ogah sama sekali berhutang uang dan budi pada Sean. Ada Dean, penari jalanan yang juga anggota geng jalanan. Sangar, tapi tetap terenyuh dan mati-matian melindungi seorang gadis yang tak dikenalnya saat terjadi perang gangster. Ada pula David, si bocah mungil tapi sudah tahu arti kesetiaan dan kerasnya hidup di jalanan, meski ia sendiri anak orang berada.
Walaupun sangat menyukai kisah dan karakternya, tapi ada beberapa hal yang kurasakan kurang pas. Pertama-tama, masalah setting lokasi novel ini. Aku tidak tahu pasti di mana ini. Ok, evergreen forrest, headed to Pacific Ocean, snowy, so I'm guessing... just a guess.... west coast USA: Northern California or maybe Oregon??! Tidak pernah ada penjelasan langsung tentang hal ini. Dan karena tidak jelas lokasinya, banyak hal lain yang juga jadi kabur, misalnya, tentang nilai budaya yang berlaku di sana. Nathan Evans berumur 22 tahun, laki-laki, sehat, mahasiswa... kenapaaaa juga (saat awal kisah) ia masih tinggal di rumah orang tuanya? Jika ini benar-benar bersetting di Amerika, hal ini jadi sangat aneh, mengingat kebiasaan mereka yang biasanya "menendang keluar rumah" anak-anak setelah lulus high school dan jadi mahasiswa. Begitu juga tentang masalah keuangan untuk kuliahnya. Meskipun tidak jarang untuk orang tua membiayai uang kuliah anak-anak mereka, terutama untuk kalangan yang mampu untuk itu, bukan hal aneh juga di Amerika untuk kuliah mengandalkan usaha sendiri. Kerja sambilan, beasiswa dan student loan. Apalagi mengingat Nathan yang katanya sangat berbakat.... Jika ia memang benar-benar ingin kuliah musik dari awalnya, mungkin ada banyak pintu yang terbuka untuknya. *memang dianya aja yang super galau* Lalu, jika itu jurusan pilihan ayahnya, why the hell that his father choose architechture? If his drives was lots of money, he should send Nathan to do bussiness school or prep for medical or law school. Just saying!
Oh, btw, I luv the one twist 'bout Matthew Evans, that really tidy things up! Made the story more believeable.
Hal lain, kebanyakan dialog yang digunakan di novel ini, seperti yang kukatakan sebelumnya, menggunakan aksen ghetto-english. It's ok for street talking, but Sean, Sean was not just any street walker. I don't wanna spill spoilers here, but I just think for the more formal situation, Sean should use proper english. Hip boleh, tapi jaim juga perlu kan.
Banyak moment-moment bagus dalam novel ini, seperti saat Nathan menggelandang di rumah sakit setelah dirampok, atau saat ia berbicara pada si orang tua bertopi fedora di kursi roda, atau saat-saat Rachel akhirnya memutuskan pilihan hidupnya, plus aku sukaaaa sekali cara Sean menekan Rachel dan Nathan to their limits, tapi kadang-kadang aku merasa sedikit too much information, specially tentang jenis-jenis pepohonan evergreen yang disebut. Bukan hal jelek sih, cuma meh.
Untuk masalah cetakan, meskipun indie publishing, tapi bagus dan jelas. Typo kayaknya ada sekali, tapi aku sudah lupa di mana. No problemo. Yang bikin aku agak susah itu adalah masalah font dan ukurannya. Ukurannya agak lebih kecil daripada yang biasa digunakan, dan entah font apa yang digunakan, tapi saat di-italic-kan, font-nya jadi aneh dan menurutku tidak begitu nyaman untuk mata. Maaaaap, mata lelahku ini sudah terbiasa dengan TNR12, jadi harap maklum ya. Covernya menarik (mengingatkanku akan gaya Marvel Comics), hanya saja warna-warnanya terlalu gelap untuk seleraku, kurang kontras antara latar belakang dan huruf-hurufnya. Ada beberapa graphis huruf yang tidak terbaca, seperti pada huruf T di tengah kata Street dan huruf-huruf A,R,C, H, I dan T di awal kata Architecture.
Overall, 3.5 stars for the theme and story + another .5 just for Timothy and his wheel chair. :)
Thank you buat mbak Angela Githa yang telah memberiku novel ini. It was a genuine pleasant reading it. I'm really looking forward to read your next 'dream' novel, but until then....
wish every dream can soar high and fly unfaltered with the strength of purest passions!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar