Senin, 14 September 2015

Ayahmu Bulan, Engkau Matahari


Review Buku  
Judul: Ayahmu Bulan, Engkau Matahari  
Pengarang: Lily Yulianti Farid
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2012)
ISBN: 9789792287080
Jumlah Halaman: 264 halaman
Penerbitan Perdana: 2012
Literary Awards: Kusala Sastra Khatulistiwa Nominee for Prosa - longlist (2013)



Lihat sinopsis
Tujuh belas kisah dalam buku ini membawakan cerita-cerita dari ruang dapur sampai wilayah konflik. Dari urusan tepung terigu sampai misi kemanusiaan di Ramallah. Hampir semua tokoh utama adalah perempuan dari beragam usia, ras, budaya, dan agama. Mereka bergelut dengan pencarian jati diri, ketimpangan gender, cinta segitiga, hingga masalah-masalah sosial-politis yang kerap menjadikan perempuan sebagai objek. Dilatari ilustrasi yang indah dan detail cerita yang unik, Lily Yulianti Farid menampilkan suara-suara perempuan paling jernih dalam meneriakkan kegelisahan, kemarahan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang kerap terjadi di mana pun mereka berada.


Nama Lily Yulianty Farid bukanlah nama yang sangat sering kudengar sebagai penulis wanita dalam negeri, karena itu, saat kumcer ini terpilih sebagai salah satu long-list KLA 2013, sempat penasaran juga dibuatnya. Apalagi melihat cover depan buku ini yang terasa... abstrak? menakutkan? memilukan? entah bagaimanalah menyebutnya... gambaran seorang wanita yang tertelungkup dengan senapan yang mengeluarkan bunga tegak di atasnya, bukanlah pemandangan yang mudah dilupakan.

Dan setelah kubaca, kumcer ini ternyata padat berisi, dan semuanya mengisahkan tokoh-tokoh perempuan aneka umur, pekerjaan dan latar belakang, dengan satu persamaan..., mereka semua karakter yang sangat kuat meski berbagai jalan nasib dan tragedi datang mencobai (tak heran, mengingat latar belakang sang pengarang yang sangat dekat dengan masalah gender). Meskipun demikian, cerpen-cerpen ini tetap renyah, enak dinikmati.

Ketika engkau lahir, malam seperti meledak.

Kumcer dibuka dengan kisah Ayahmu Bulan, Engkau Matahari. Cerpen yang judulnya sekaligus menjadi judul antologi ini, berkisah tentang Jannah, seorang wanita yang menjadi yatim tak berapa lama setelah kelahirannya. Dilahirkan di daerah rawan keamanan memang membuatnya kehilangan orang tua tapi seorang nenek luar biasa membuatnya terdidik dan bisa berimajinasi menembus batas-batas wilayah. Kelak Jannah menjadi tenaga sukarela yang menjelajah berbagai belahan dunia yang dilanda konflik, tapi dengan tetap memendam satu kerinduan untuk bertemu sang ayah.

Di awal musim semi, Jois mengisyaratkan kematiannya.

Kisah lain yang juga sangat membekas di hati adalah Jois dan Sang Malaikat. Di sini sang pengarang menggedor rasa toleransi yang seharusnya tidak dipisah-pisahkan oleh masalah kepercayaan, dan dalam waktu yang sama mengungkapkan rasa kasih sayang dan kemanusiaan yang kental antara anak dan ibu asuhnya. Sangat menyentuh dengan ending yang mengundang tangis haru.

Di ruang makan laki-laki itu menunggunya.
Di atas meja, sebotol kecap menunggunya. Encer dan asin.

Kumcer ini juga menyimpan beberapa kisah yang lain di permukaan lain di maksud. Seperti dalam cerpen Kecap. Sebentuk hadiah ulang tahun aneh yang diterima Nayu saban tahun, kecap. Tapi walau tampaknya mengulik-ngulik tentang kecap no.1 di dunia, cerpen ini justru menyoal tentang masalah SARA dan kekerasan sekaligus kesempurnaan seorang wanita dan kasih sayang seorang Ayah. Paduan yang aneh, namun tersaji dengan penuh kelezatan. Demikian juga dengan Rie dan Rei Kisah yang diceritakan bergantian dengan sangat apik antara Si Rie dan si Rei ini tampaknya hanyalah tentang dua sahabat lama yang menikmati nyuknyang di warung sambil bercerita cerita petualangan mereka. Tapi di dalamnya, banyak tersurat kegelisahan diri yang tak terkatakan. Atau dalam Jendela untuk Bunga yang bertutur tentang sepasang pengantin baru, tapi sebenarnya mengkritik sistem hukum kita dan ketiadaan tempat bagi orang-orang yang idealis.

Aku adalah maiasaura dan Sora adalah T-Rex.

Banyak kisah di kumcer ini yang mengambil latar daerah konflik, tapi yang paling membuat miris -terutama sebagai kaum wanita- adalah Maiasaura. Masih seperti kisah lain, dipermukaan cerpen ini menceritakan kehangatan ibu dan anak dan permainan dinosaurus yang sering mereka mainkan. Tapi lebih jauh melihat, sang Ibu ternyata adalah seorang sukarelawan di Ramallah yang tiap hari menyaksikan puluhan perempuan kesulitan dalam proses melahirkan di bawah todongan senapan daerah konflik.

Kisah-kisah lain, seperti Suara, Ruang Keluarga, Kelas 1-9, Kamera dan favoritku, Gurita, juga sangat sarat makna. Aku menikmati cerpen-cerpen ini, meski kadang perlu banyak waktu untuk menyesap dan mengerti maknanya. Kadang banyak ironi yang ikut dalam kisah, tapi semuanya masih dalam batasan yang nyaman untuk dinikmati. Walau seting kisah berpindah-pindah dari warung hingga wilayah peperangan, dari Makassar hingga Swiss, tapi semua ceritanya sangat membumi, real tanpa isian imajinasi yang berlebihan. Aku juga suka dengan pilihan-pilihan diksi dan metaforanya yang tidak biasa dan terasa menyegarkan.



Tentang Pengarang:

Lily Yulianti Farid, lahir di Makassar, 16 July 1971, mengarang cerita sejak kecil, namun sempat meninggalkan kegemaran ini saat meniti karier sebagai jurnalis. Saat ini dia tinggal di Melbourne, Australia. Dia pernah belajar di Universitas Hasanudin pada bidang teknik pertanian, dimana dia memulai karier sastranya pada majalah kampus, "Identitas".

Setelah lulus, ia menjadi wartawan pada Harian Kompas (1996 - 2000). Pada tahun 2001 hingga 2004, ia mengambil gelar master pada studi Gender and Development. Pada tahun 2010 ia mendaftar untuk program Doktor pada bidang "Gender and Media" pada universitas yang sama dan direncanakan lulus pada tahun 2014. Selama masa studinya di Melbourne, ia melanjutkan menulis jurnalistik dengan bekerja sebagai produser Radio Australia, Melbourne (2001-2004). Ia juga bekerja sebagai spesialis program radio/produser pada Radio Jepang NHK World, Tokyo (2004 - 2008). Selama periode tersebut, pada 2006 ia menjadi kolumnis untuk Nytid News Magazine, Norwegia, dan masih berhubungan dengan majalah tersebut hingga saat ini.

Ia memulai kariernya sebagai penulis dan jurnalis, dan terlibat pada beberapa proyek independen, seperti Panyingkul! yang didirikan pada 1 July 2006, suatu media online yang memperkenalkan konsep citizen journalism, yang berbasis di Makassar. Ia mencurahkan sebagian waktunya mengelola media independen ini, selain menulis artikel untuk media di dalam dan luar negeri.

Lily Yulianti Farid dapat ditemui di situsnya lilyyuliantifarid.com
Sumber: Wikipedia

100 Hari Membaca Sastra Indonesia




https://www.goodreads.com/review/show/1382439013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget