Rabu, 28 Mei 2014

Pasung Jiwa


Judul: Pasung Jiwa
Pengarang: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013)
ISBN: 978-979-22-9669-3
Jumlah Halaman: 328 halaman
Penerbitan Perdana: 2013
Literary Awards: Khatulistiwa Literary Award Nominee for Prosa - shortlist (2013)



Apakah kehendak bebas benar-benar ada?
Apakah manusia bebas benar-benar ada?

Atau mungkin seluruh hidup kita adalah perangkap, dan kita semua adalah jiwa-jiwa yang terpasung dalam kaidah etika, norma, budaya, agama, aturan, tatanan, kebiasaan, harapan orang tua, pandangan masyarakat, tekanan finansial, kekuasaan dan uang, pemerintah, hukum, apapun, semuanya. Novel Pasung Jiwa ini mengulik tema tersebut dengan cara yang sangat menggugah, dengan mengupas dua karakter yang sama-sama limbung dalam kerangkeng kehidupan. Yang satu adalah Sasa, seorang wanita yang terperangkap dalam tubuh lelaki, yang lain adalah Cak Jek, sosok orang biasa yang luar biasa gelisah melihat segala ketidakberdayaan orang-orang lain yang dikenalnya.



Sasa, terlahir Sasana. Putra pertama pasangan ahli hukum dan dokter bedah ini contoh anak baik-baik, penurut dan membanggakan orang tua. Cukup berbakat dalam memainkan piano hingga piala berderet memenuhi lemari sebelum ia tamat sekolah dasar. Namun siapa sangka bahwa bukan gubahan klasik yang dapat menggerakkan hatinya, melainkan goyang dangdut, jenis musik yang bagi sebagian besar orang dianggap kampungan, musik kelas bawah yang tak layak untuk masuk rumah gedongan. Lebih dari itu, Sasana juga menyimpan rahasia lain. Ia iri setengah mati pada adik perempuannya. Iri pada kemolekan bentuk tubuhnya, iri pada suara manjanya, iri pada keseluruhan feminimitasnya. Sebagai Sasana, dua hal ini sangat taboo untuk diinginkan dan akhirnya dikubur dalam-dalam tanpa pelepasan. Dua hal ini pula yang kelak dibangkitkan oleh Cak Jek, mengubah Sasana menjadi Sasa yang sebenarnya.

Cak Jek, terlahir Jaka Wani, kelak berubah lagi menjadi Jaka Baru. Setelah bertemu Sasana di Malang ia membentuk sebuah orkes dangdut profesional dan melahirkan Sasa sebagai biduannya. Sayangnya demi menolong mencarikan seorang buruh wanita yang hilang, kelompok ini terpecah belah. Jaka Wani terlempar ke Batam sedangkan Sasa terhinakan dengan amat sangat di tangan para tentara, bahkan kemudian sempat masuk rumah sakit jiwa. Di Batam, Jaka Wani kembali terganggu dengan nasib para buruh dan pelacur di sekitarnya. Setelah gonjang-ganjing dalam pabrik tempat kerjanya, Jaka Wani kembali terdepak ke sebuah kapal nelayan dan bertahun-tahun tidak menginjakkan kakinya ke daratan. Setelah itu, nasib membawanya kembali ke Jakarta, dan di situ ia memulai karier barunya sebagai seorang laskar.


Aku selalu memandang tokoh Jaka Wani sebagai sosok galau tanpa prinsip yang terhanyut kemana pun arus membawanya. Lebih dari itu, Jaka Wani ini mungkin lebih tepat disebut sebagai katalisator perubahan nasib buruk. Kegelisahannya membuat orang-orang sekitarnya mampu mengambil keputusan untuk mempertanyakan ketidakadilan di kehidupan mereka, namun di saat yang sama, Jaka Wani sama sekali tidak menawarkan solusi. Jalan hidupnya meninggalkan jejak kekacauan di mana-mana. Tapi dari mata tokoh ini pula, pembaca akan ditarik dan dipaksa melihat berbagai isu sosial dalam masyarakat. Mulai dari kasus buruh ala Marsinah serta kehidupan buruh rendahan pada umumnya, bisnis pelacuran, hingga organisasi bayaran berkedok agama. Penggambaran yang tajam dan amat sangat jelas, hingga kadang bikin bergidik ngeri. Perjalanan hidup Jaka Wani ini juga selalu menemui hal-hal yang teramat kontradiktif. Awalnya ia ogah membantu seorang ayah yang anaknya 'hilang' selagi menjadi buruh, namun kemudian Jaka sendiri terlempar menjadi buruh pabrik televisi, seorang yang menjadi -mengutip kata-katanya sendiri- mesin dengan rutinitas terpola. Kemudian saat ia merasa hampir mati terkungkung dalam kehidupan sehari-harinya, Jaka belajar tentang makna kemerdekaan dari seorang pelacur jalanan. Kelak, saat kembali ke tanah Jawa, ia mengangsu kehormatan dari jati dirinya yang seorang laskar, hanya untuk dihadapkan kembali dengan masa lalu bernama Sasa, penyanyi dangdut goyang bahenol yang dulu pernah diciptakannya sendiri. Yaah... roda kehidupan memang punya cara-cara aneh untuk memutar ulang dirinya sendiri.......

Berbeda dengan tokoh Jaka Wani, tokoh Sasana selalu mengundang iba dariku. Jalan hidupnya yang kurang beruntung dan penjara yang dialaminya sungguh tak mungkin untuk diruntuhkan. Sejak muda ia telah bergelut dengan identitasnya. Saat SMU ia dihadapkan pada kekerasan bullying, tentara memberinya luka jiwa permanen, sedangkan rumah sakit jiwa menghadapkan dirinya untuk benar-benar melihat kesejatiannya. Satu-satunya jalan yang tersisa hanya dengan penerimaan. Untunglah sang pengarang cukup baik hati untuk memberikan hal ini lewat tokoh sang Ibu di jelang akhir kisah. Tentu saja kehidupan Sasa tak serta merta menjadi baik, and they live happily ever after, tapi... paling tidak, ia tidak lagi menjadi sosok tanpa jangkar. Aku suka sekali bagian-bagian saat Sasa/Sasana dapat berdialog bebas dengan ibunya, dari masalah karier, masalah keluarga mereka, masalah psikologis hingga masalah sex-preference Sasa. Sosok sang ibu benar-benar telah menerima Sasa sebagai mana adanya.

Penerimaan. Kata sederhana yang ternyata sulit sekali untuk dilakoni.
 
Kisah yang sangat menarik, padat isi dan bagus penggarapannya (mana ada sih novel Okky Madasari yang gak bagus!) tapi secara pribadi, aku tetap lebih menyukai Entrok. 


* * *

Untuk cetakannya sangat bagus, aku ingat ada satu kali typo tapi entah di mana. Edisi milikku ini edisi Mei 2013 (tanpa lis putih di pinggir covernya). Katanya ada yang berbeda dengan edisi awal, tapi aku sendiri tak tahu apa perbedaannya. Covernya itu sangat unik lho. Awalnya kusangka hanya foto wanita yang terpenjara, tapi setelah kuperhatikan ternyata ada jakun di leher wanita tersebut. Whuuaaa.... ternyata.... pas sekali dengan isu trans-gender yang diusung dalam novel.

Novel ini (dan novel Murjangkung juga) pernah kumasukkan dalam posting Wishful Wednesday di awal tahun ini. Tak lama kemudian aku berkesempatan mendapatkan beberapa buku dengan berdiskon besar dari HobbyBuku Shop gara-gara reviewku terpilih sebagai RotM, maka dua novel ini langsung jadi pilihanku selain novel yang lain. Jadi ini ceritanya review buku posbar berbuntut dapat buku, lalu bukunya direview untuk posbar lagi =)).



https://www.goodreads.com/review/show/634494923







Posting ini dipublikasikan dalam rangka mengikuti event
Baca dan Posting Bareng BBI
Bulan: Mei 2014 - Tema buku: Khatulistiwa Literary Awards 2013



4 komentar:

  1. aplikasinya, mbak klo ketemu trans gimana? :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakaka.... emang blm pernah sih temenan sama trans. kalo sama co melambai udah ada bberapa. gpp, enak aja. meski kadang mereka lebih *deramah* daripada kita-kita yang ce. :)

      Hapus
  2. woww...ternyata 2 buku yg direview sama2 WW yang terkabul :D semoga kepilih lagi nih jadi ROTM hhihihi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak astrid. amin... #ngarep.....in diskonnya lagi =)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget