Senin, 18 Agustus 2014

Di Kaki Bukit Cibalak


Judul: Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014)
ISBN: 978-602-03-0513-4
Jumlah Halaman: 192 halaman
Penerbitan Perdana: 1986
Literary awards: Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta - Hadiah Perangsang Kreasi (1978)

Sinopsis
Perubahan yang mendasar mulai merambah Desa Tanggir pada tahun 1970-an.

Suara orang menumbuk padi hilang, digantikan suara mesin kilang padi. Kerbau dan sapi pun dijual karena tenaganya sudah digantikan traktor. Sementara, di desa yang sedang berubah itu muncul kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Pambudi, pemuda Tanggir yang bermaksud menyelamatkan desanya dari kecurangan kepala desa yang baru malah tersingkir ke Yogya. Di kota pelajar itu Pambudi bertemu teman lama yang memintanya meneruskan belajar sambil bekerja di sebuah toko. Melalui persuratkabaran, Pambudi melanjutkan perlawanannya terhadap Kepala Desa Tanggir yang curang, dan berhasil. Tetapi pemuda Tanggir itu kehilangan gadis sedesa yang dicintainya. Dan Pambudi mendapat ganti, anak pemilik toko tempatnya bekerja, meski harus mengalami pergulatan batin yang meletihkan.


Bulan Agustus ini aku niatnya pengin baca beberapa buku jadul 'klasik' Indonesia yang sudah cukup lama nongkrong ngumpulin debu di rak bukuku. Tapi karena masih susah ngumpulin mood bacanya *halaaaah* maka kucarilah novel yang paling tipis yang ada. Hasilnya ya buku ini, yang baru saja cetul beberapa bulan lalu dan hanya 170-an halaman. Lumayanlah, untuk pembangkit selera bacaan selanjutnya. 



Tokoh utamanya adalah Pambudi. Awalnya ia adalah pengurus koperasi dan lumbung desa, namun karena tidak setuju dengan tindakan-tindakan Pak Lurahnya yang mengeruk keuntungan desa demi kepentingan pribadi, akhirnya ia mengundurkan diri dan memilih menekuni ternak ayam miliknya. Di suatu kesempatan, Pambudi menolong Mbok Ralem, seorang janda tua di desanya yang sakit parah dengan membawanya ke sebuah RS dan kemudian mendatangi sebuah surat kabar untuk membuka kolom dompet amal. Niat baik ini disambut kemarahan oleh Pak Lurah yang dimarahi Pak Camat yang dimarahi Pak Bupati yang dimarahi Pak Gubernur gara-gara dianggap membuka aib pemerintah yang tidak bisa mengayomi rakyatnya. Kejadian ini kemudian berlarut-larut hingga membuat Pambudi memilih keluar dari desa Tangir, meninggalkan seorang gadis muda yang disukainya, dan meneruskan pendidikan sarjana di kota Yogya. Setelah sempat menyambi kerja sebagai penjaga toko jam, datang tawaran dari pemilik surat kabar yang dulu dimintai tolong kembali dalam kasus Mbok Ralem, yang kebetulan memerlukan seorang pekerja media. Dari surat kabar inilah, Pambudi kemudian menyalurkan pikiran idealis yang dimilikinya terhadap Desa Tangir.  


Kisah yang diusung sebenarnya bagus, yaitu tentang permasalahan hidup di desa kecil di dekat kota Yogya, lengkap dengan intrik-intrik Pak Lurah yang korup dan nepotisme, praktek dukun merdukun, romansa muda mudi plus tokoh protagonis yg idealis. Sayangnya, gaya penulisan dan penceritaannya amat sangat disederhanakan sekali. Selesai membaca yang cuma sekali duduk ini, masih terasa tidak puas. Lho... ini kok cerita udah tamat saja? *bukannya tadi emang nyari novel yang tipis!

Iya sih, tapi saking tipisnya, permasalahan-permasalahan yang diangkat hanya terasa seperti mengudap keripik balado. Sedikit terasa pedas, lalu hilang tanpa bekas tanpa kenangan. Padahal selain praktek KKN si Pak Lurah, dari Desa Tangir juga diangkat masalah pelestarian lingkungan, pembalakan hutan Jati, buruh tani yang makin sulit mencari kerja, konsumerisme yang makin merambah, sampai tentang penyaluran dana pendidikan. Dari tema sosial, novel ini juga mengangkat masalah perkawinan usia dini, praktek kawin-cerai ala priyayi, sampai membidik kesaktian dukun yang ternyata meminta bayaran 'lebih' dari pelanggannya. Untuk romansanya, seharusnya ada banyak kesempatan untuk membuatnya jadi lebih mendayu-dayu. Kisah cinta segitiga Pambudi-Sanis-Bambang misalnya. Atau pergolakan hati Sanis saat ia malah 'dipaksa' dipersunting Pak Lurah. Atau konflik budaya yang harusnya dihadapi Pambudi-Mulyani. Semuanya hanya diperlihatkan sekilas, lalu tiba-tiba beres *coba kalo kisah ini dibuat sinetron, stripping setahun belum tentu masalah Mbok Ralem doang bisa diselesaiken!* ;) 

Hal lain yang mungkin malah tergarap dengan terlalu bagus, adalah adanya pencitraan bahwa generasi muda Desa Tangir sendiri sudah berubah lebih terdidik dan terbuka pikirannya. Diwakili oleh pemikiran-pemikiran Pambudi, Bambang dan Hadi yang ditandingkan dengan kebobrokan generasi tua seperti Pak Lurah, Pak Camat, Pak Dukun, dll, seakan-akan Pak Pengarang berusaha meyakinkan bahwa hal-hal buruk yang terjadi di desa tersebut, sekarang sudah jauh membaik dengan adanya kaum muda yang lebih bijak. Kurasa, pikiran ini malah sedikit tercederai, mengingat di akhir cerita, kesannya Pambudi lebih memilih meninggalkan desanya untuk selamanya....
-____-


* * *


Selayaknya terbitan GPU, cetakan bagus, tanpa typo, meskipun harus diingat novel ini dituliskan pertama kali tahun 1978, dan terbit 1986, jadi ya gaya bahasanya rada-rada jadul begitu. Covernya... nah ini, aku sempet mengamat-amati cukup lama sebelum mengerti gambar ilustrasi cover edisi cetak ulang. Ternyata itu gambar sepasang laki-laki dan perempuan yang duduk di atas kap mobil sedan *sudah bisa lihat gambarnya?*. Ilustrasi yang sedikit aneh, ditambah lagi dengan font tulisan judulnya yang berantakan dan memenuhi seluruh halaman. Lebih suka cover edisi lamanya saja *tapi aku suka warna ijo-nya*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget