Judul: Snow Flower
Judul asli: Snow Flower and the Secret Fan
Pengarang: Lisa See
Penerbit: Qanita - Mizan Group (2006)
ISBN: 979-32-6949-9
Jumlah Halaman: 556 halaman
Penerbitan Perdana: 2004
Literary awards: Abraham Lincoln Award Nominee (2008)
Sinopsis
Di atas kipas sutra tertera kehidupan mereka.
Pengikatan kaki pernikahan, kelahiran, kematian,
kebahagiaan dan pengkhianatan.
Janji setia sepasang laotong.
Bunga Salju dan Lily adalah sepasang laotong, kembaran sehati. Bersama mereka melalui hari-hari sebagai gadis kecil, remaja, hingga dewasa. Bersama mereka melewati masa-masa menyakitkan saat kaki diikat. Meski jarak terentang, mereka menyatu dalam ikatan sebuah kipas sutra berhias nu shu, tulisan rahasia kaum wanita. Namun nu shu pemersatu justru mengkhianati mereka, mencerai-beraikan dua hati.
Dalam Snow Flower, Lisa See menyampaikan cerita menawan tentang kehidupan wanita Cina yang serba terkekang pada abad ke-19. Melalui Bunga Salju dan Lily, terkuak tradisi pengikatan kaki untuk mendapatkan bentuk lotus yang suci, juga ikatan laotong yang lebih erat daripada pernikahan. Tapi, apa jadinya jika kembaran sehati tak lagi saling bertaut?
Kisah memoar dari seorang wanita tua terhormat dari desa Puwei, di barat daya Cina, sekitar tahun 1800-an. Lily, si wanita tua tadi yang menceritakan kehidupannya sejak berumur 5 tahun hingga saat itu. Penuh dengan ikatan tradisi dan berbagai peristiwa, dari persahabatannya dengan seorang wanita lain bernama Bunga Salju, perjalanan perjodohan dan perkawinannya, wabah dan naik-turunnya kehidupan ekonomi keluarga suaminya, hingga pemberontakan Taiping yang terjadi di sekitar desanya.
Sayangnya, karena novel ini sepenuhnya dari sudut pandang Lily, di sepertiga akhir cerita aku jadi sangat bosan pada karakter Lily. Terlalu patuh, terlalu mapan, terlalu aman. Maksudku, ia benar-benar tipikal wanita ideal yang diharapkan pada jaman itu. Patuh pada keluarga suami, punya keluarga adem ayem tentrem terhormat, sudah melahirkan beberapa anak laki-laki yang cerdas dan bisa diharapkan jadi penerus nama keluarga, jadi panutan wanita seluruh kampung, lah... la terus apalagi yang jadi masalahnya? Sedangkan konflik pertengkarannya dengan Bunga Salju juga murni hanya dilihat dari sudut pandangnya saja, sehingga jadi tidak terasa geregetnya. Parahnya lagi, pertengkaran ini hanya berdasar pada sebuah surat.... persahabatan jiwa selama lebih dari 20 tahun diceraikan hanya berdasar sebuah kalimat?? Maafkan pendapatku, tapi bukankah itu menunjukkan bahwa Lily benar-benar sudah cupet pikirannya? Atau ia memang benar-benar sudah jadi tinggi hati sejak menjadi Lady Lu yang terhormat? Menurutku paling tidak ia harusnya meminta penjelasan langsung dari bunga salju, bukannya menghancurkan reputasi seorang sahabat seperti itu.
Aku sangat ingin mendengar (membaca) kisah ini dari sudut pandang Bunga Salju, yang bisa dibilang lebih bebas dan terdidik dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya. Meskipun 'terdampar' pada keluarga suami yang berkasta jauh-jauh-jauh di bawah Keluarga Lu, Bunga Salju kurasa tetap lebih tegar walau lebih tragis pula nasibnya dibandingkan Lily. Aku ingin tahu bagaimana perasaan Bunga Salju saat mendapati dirinya keguguran dan Lily menyuratinya hanya untuk menyemangatinya agar punya anak laki-laki lagi. Atau saat ia tak pernah lagi mendapatkan surat dari Lily setelah suratnya yang terakhir dikirimkan bersama dengan kipas rahasia mereka. Atau saat ia dipermalukan sedemikian hingga di hadapan seluruh wanita-wanita seluruh desa.
Lepas dari ceritanya sendiri, aku malah justru menikmati sekali (sambil sering bergidik ngeri juga deng) membaca tentang budaya-budaya tradisional wanita Cina kelas menengah ini di jaman itu. Selain tentang nushu dan tradisi pengikatan kaki menjadi kaki lily emas, banyak kisah festival dan kebiasaan yang sebelumnya tidak kuketahui, misalnya ya tentang ‘laotong’ atau ‘kembaran sehati’ itu sendiri. Juga tentang kebiasaan anak perempuan untuk kembali ke rumah orang tuanya setiap waktu-waktu tertentu atau kehidupan sehari-hari mereka, yang hanya terkungkung di sebuah ruangan besar tempat sesama wanita dari seluruh rumah/keluarga berkumpul dan melakukan kegiatan-kegiatan rutin mereka.
Untuk nushu/tulisan wanita, dari sedikit ulasan yang kubaca, Lisa See - si pengarang begitu tertariknya pada hal ini sampai-sampai ia melakukan riset mendalam dan mengunjungi berbagai tempat di pedalaman propinsi Hunan di Cina untuk mencari wanita-wanita yang masih menguasai ketrampilan langka ini. Sayang sekali, saat ini hanya peninggalan-peninggalan puisi, terutama puisi hari ketiga perkawinan yang banyak diulas di dalam novel, yang bertahan di museum, sedangkan pengguna aktifnya dapat dibilang sudah tidak ada lagi.
Seingatku, perihal tulisan wanita ini juga pernah disinggung sedikit di novel fantasy Eon/Eona. Ada gak ya novel lain yang bercerita tentang hal ini? #kepodotcom
* * *
Untuk versi terjemahan Indonesia terbitan Qanita ini cukup enak dibaca dan tanpa typo yang kuingat. Sebenarnya aku tidak terlalu suka nama Lily dan Bunga Salju dan nama-nama karakter di sini ikut ditranslasikan juga, namun mengingat ini bukan novel dari bahasa Mandarin melainkan asli bahasa Inggris, maka ya memang sudah demikianlah.
Aku suka sekali bahwa novel ini diterbitkan dalam ukuran mass market paperback yang enak dibawa-bawa namun dengan font dan cetakan yang tidak dimungil-mungilkan.
Untuk edisi milikku ini, ilustrasi covernya seperti yang di atas itu, bukan edisi cover yang tercatat dalam goodreads (meski ISBN-nya sama persis). Untuk covernya itu, aku suka tulisan judul dan pengarangnya, tapi gak suka ilustrasi wanitanya. Menurutku wanita itu salah kostum salah jaman, dari deskripsi-deskripsi di dalam novel, para tokoh wanita dalam cerita ini memakai jubah, celana dan tunik berbordir bukan baju cheongsam ketat berlengan pendek seperti itu :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar