Judul: Lampuki
Pengarang: Arafat Nur
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta (2011)
ISBN: 9789790243545
Jumlah Halaman: 436 halaman
Penerbitan Perdana: 2011
Literary Awards: Kusala Sastra Khatulistiwa for Fiksi (2011), Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta for Pemenang Unggulan (2010)
Lihat sinopsis
Inilah novel menyentuh dan mencerahkan berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah kejatuhan Soeharto. Lampuki adalah sebuah satir cerdas tentang gebalau konflik antara tentara pemerintah dan kaum gerilyawan yang pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa.
Di pusat cerita adalah seorang lelaki kampungan berkumis tebal bernama Ahmadi. Dialah mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin laskar gerilyawan yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis yang banyak lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan tentara yang datang dari pulau seberang. Namun, walau dia selalu lolos dari kejaran orang-orang berseragam, para penduduk desalah yang kena batunya. Orang-orang tak berdaya itu kerap menjadi sasaran kemarahan tentara.
Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan ke rumah-rumah penduduk, dan Jibral si Rupawan, pemuda tanggung penakut yang menjadi pujaan hati gadis-gadis sekampung.
Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Ini sebuah kisah satir tentang sebuah kampung terpencil di Aceh pasca 1998. Setengah homoris setengah membuat miris. Setengah sebal melihat kelakuan orang-orang di kampung Lampuki ini yang sering pesong, tapi di waktu yang sama juga jatuh kasihan pada mereka. Sebagai pembaca yang jauh dari kisah ini, bahkan bisa dibilang berada pada kondisi yang berseberangan dengan mereka, kisah ini seperti jendela kecil untuk mengintip kehidupan rakyat kecil di daerah konflik, yang ternyata lebih banyak tidak memedulikan siapa yang berkuasa di atas sana, asalkan kondisi kampung mereka aman damai.
Meskipun tokoh utama novel ini adalah Ahmadi atau Si Kumis, tapi seluruh penceritaannya dikisahkan dari mata seorang guru mengaji di situ. Sudut pandang yang lebih imbang untuk melihat antara yang datang dan didatangi. yang ditakuti dan yang tertakutkan... dan orang-orang yang terjepit di antaranya. Bahwa penindasan bukan hanya datang dari kaum gerilyawan namun juga dari para Tentara yang katanya datang untuk melindungi mereka. Si Kumis mungkin menakutkan, tapi dia adalah sosok menakutkan yang dikenal di seantero kampung. Sedangkan Si hijau loreng datang dan pergi membawa mala mereka masing-masing.
"Tanpa ada malu, ia merengek-rengek di ketiak Teungku Daud supaya bersedia membantu negaranya yang dengan mudah kembali dikuasai Belanda. Dengan niat tulus, ulama kita percaya kata-kata temberangnya untuk menyatukan tanah ini dengan tanahnya. Dari mulut yang sedu sedan itu muncul janji-janji muluk yang indah menjijikkan!"
"Terkumpullah perhiasan, uang, lada, pala, cengkeh, padi dan segala benda lainnya yang berwujud 20 kilogram emas. Kemudian semuanya disumbangkan kepada kaum yang sedang sekarat, yang hendak kembali karam selagi berada di ujung tanduk kemerdekaan. Kelak, bahkan seorang saudagar dari tanah kami menyumbang 28 kilogram emas untuk dipajang di puncak tugu nasional di depan istana Karno."
"Setelah mereka bebas dan menghirup udara segar, Karno kembali kepada kaumnya di Batavia. Dari jauh (jauh di sebarang lautan sana, hanya suaranya saja yang terdengar sampai kemari, dan dari gemanya amat menyakitkan hati dan telinga kami di sini) dia mengeluarkan maklumat, menghapus kekuasaan Teungku Daud dan menjadikan lelaki tua itu sebagai rakyat jelata yang tiada punya kuasa apa-apa."
Nah lo, kalau ini tidak bisa dianggap sebagai gugatan rakyat Aceh, lalu apa?
Bagiku yang lahir besar sekolah di masa orde baru, lulus penataran P4 berpuluh jam, banyak kata-kata Ahmadi dalam novel ini yang menusuk hati. Sulit untuk mengakui bahwa GAM punya satu saja alasan yang valid untuk pemberontakan mereka. Sebaliknya, bahwa pendudukan pasukan-pasukan TNI di Aceh adalah suatu kebutuhan yang tak dapat dielakkan. Namun demikian, bertahun-tahun berlalu semenjak tahun reformasi, dan sedikit banyak kisah-kisah di balik pendudukan tentara di Aceh (dan TimTim) terkuak. Tentara tentu saja bukan sekawanan malaikat. Dan tindakan represif mereka terhadap penduduk asli tentu saja tidak dapat dipandang ramah.
Sayangnya novel ini mengalir lempeeeng saja tanpa awal, klimaks dan akhir. Terstuktur dalam bab-bab yang tiap babnya menceritakan satu cerita utuh tentang suatu hal di Kampung Lampuki situ. Yang mendominasi tentu saja kisah tentara yang datang dan pergi berulang lagi dan lagi, dengan segala tingkah dan tindak-tanduk mereka, bahkan hingga akhirnya, saat mengisahkan kaum lelaki harus mengungsi ke hutan dst, hanya tertinggal sedikit kejutan. Rasanya seperti membaca biografi entah siapa daripada novel. Namun jika memang dipandang ini sebagai "biografi" sebuah kampung bernama Lampuki, maka penggambarannya detail sekali. Wajah nyata sebuah daerah rawan konflik yang tak mudah terlihat -apalagi dipahami- oleh orang luar...
Tak heran novel Lampuki ini diganjar KLA di tahun 2011.
Postingan ini dibuat untuk mengikuti event Baca Bareng BBI
Bulan: Mei 2015
Tema: HAM
https://www.goodreads.com/review/show/787169112
Ini bahasanya nyastra ngga ya? Macem cerita Ayu Utami di Larung yg sedikit nyentuh era orde baru juga?
BalasHapusbahasanya bahasa Indonesia logat Aceh kalee ya, banyak kata-kata kayak 'pesong', 'tengku' dan kosa kata melayu lain. mau nyoba baca? kubawain entar pas kopdar, ini bacaan ringan kok :p
Hapusaku gak kuat baca ini. DNF. TT_TT
BalasHapus