Rabu, 30 April 2014

Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah


Judul: Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Pengarang: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2011)
ISBN:  978-979-22-6884-3
Jumlah Halaman: 528 halaman
Penerbitan Perdana: 2011





Bagaimana menyikapi sebuah garis batas?
Di desa Gulshan, desa kecil yang menjadi batas Negara Uzbekistan dan Kyrgyzstan, keluar rumah berarti pergi ke luar negeri. Ada pula rumah yang dapurnya di Uzbekistan dan ruang tidurnya di Kyrgysztan. Listrik pun berasal dari dua negara, saat pasokan dari Uzbekistan terputus, masih ada aliran dari Kyrgysztan. Unik. Ajaib. Cerdas. Damai. Aman.



Gulshan, Uzbekistan. Di kiri Uzbekistan, di kanan Kyrgyzstan.
Di tempat ini, orang ke luar negeri cukup dengan menyeberang gang saja.

Tapi benarkah demikian?
Saat garis batas ternyata bukan hanya pemisah dua negara, tetapi juga pemberi rasa aman, pembentuk identitas, dan tentu saja, pembeda antara 'kami' dan 'kamu', satu keluarga pun sekarang dapat terpecah menjadi warga negara yang berbeda. Ada perbatasan internasional yang memisahkan sebuah kampung. Masing-masing negara memiliki aturan, ajaran, paham politik, slogan dan presiden berbeda. Semua berbeda, meski nafas tetap dihembuskan dari leluhur yang sama.

Buku ini adalah hasil penjelajahan seorang Agustinus Wibowo ke seputar wilayah Asia Tengah, lima negara (Tajikistan, Kazakhstan, Kyrgystan, Uzbekistan dan Turkmenistan) pecahan Uni Sovyet yang kini berjalan sendiri-sendiri. Namun Garis Batas bukan saja menulis tentang perjalanan ke berbagai tempat tersebut, tetapi juga mengeksplorasi kisah-kisah orang-orangnya sekaligus mempertanyakan kesamaan kita sebagai manusia. Sebuah petualangan untuk melihat tempat-tempat baru, dan di saat yang sama meneguhkan akar kita sendiri.


Tajikistan
Orang Yunani menyebutnya Oxus. Orang Arab mengenalnya sebagai Jeyhun. Pujangga Persia memujanya sebagai  Mulyan, yang bersama alirannya tersiar kisah kepahlawanan Rustam dan Sohrab. Begitu banyak nama yang disandangnya - Amu Darya, Sungai Amu, Panj, Vaksh. Namun saya menyebutnya "Sungai Pemisah Takdir".
Hanya sepemisah sungai itu, Afganistan dibedakan dari Tajikistan. Pakaian yang berbeda. Potongan rambut yang berbeda. Bahasa yang sama, dengan tulisan yang berbeda - Arabic dan Cyrilic. Lingkaran budaya yang berbeda. Modernitas yang berbeda.

Nasib yang berbeda.

Negara Tajikistan baru berumur belasan tahun saja, namun konon sejarahnya sudah berumur ribuan tahun, merambah jauh ke belakang hingga Dinasti Samani yang menguasai dataran Asia Tengah dari Iran hingga Uzbekistan. Sejarah yang sama juga diaku oleh semua negeri -stan yang lain. Namun daripada persamaan itu, lebih banyak pembeda yang diingat dalam benak.


Karakul, Tajikistan. Danau ini tercipta oleh sebuah meteor yang jatuh
menghantam bumi jutaan tahun silam.
Dalam danau asin ini, tak ada satu pun makhluk yang bisa hidup.


Satu hal lagi yang mengemuka di sini, adalah bahwa di saat di Afganistan penduduknya melihat mimpi di seberang sungai, iri pada mobil-mobil yang bebas lewat di jalan yang panjang berdebu, ternyata penduduk negeri di seberang sungai ini pun bermimpi akan negeri lain. Mereka mengelu-elukan Turkmenistan yang mengalami masa keemasan, sementara mereka kesulitan mencari bensin untuk berkendara. Kelaak, saat di Turkmenistan, ternyata ada hal lain pula yang diinginkan penduduknya. Ah, ternyata rumput di seberang selalu tampak lebih hijau daripada rumah sendiri.


Kirgistan
Saya suka mengunjungi tempat-tempat baru, belajar hal baru, tetapi juga ingin mengalir ke mana arah angin menuntun langkah kaki.
Tampaknya label "orang asing" itu dimana-mana tetap merupakan magnet untuk semua aparat birokrasi, dari imigrasi sampai polisi untuk meminta jatah uang rokoknya. Pengalaman ditangkap Polisi hanya untuk dimintai membagi sedikit rejeki bukan yang pertama kalinya terjadi, dan pasti bukan yang terakhir kali. Tapi jurus 'orang bego' ditambah sedikit keberuntungan tampaknya cukup sering berhasil mengelabui mereka. Plus di buku ini aku baru saja belajar fungsi tambahan dari hafalan Pembukaan UUD 1945.

Kirgistan yang paling dulu merdeka di antara kelima -stan, ternyata mengalami nasib yang bisa dikatakan paling buruk. Di balik wajah kota Osh yang berwarna-warni, tersembunyi kota Karakol yang digeranyangi kemiskinan. Penduduknya kehilangan pekerjaan, hingga membeli gandum pun tak lagi sanggup. Globalisasi. Privatisasi. Kapitalisasi. Reformasi ekonomi. Semua hanya menjela kata-kata kosong tanpa makna di perut-perut bocah yang kelaparan.

Peninggalan Jalur Sutra di Kyrgyzstan. Menara Burana, peninggalan kota
kuno Balasagun pada abad ke-9. Menara ini semula tingginya 45 meter,
tetapi hancur karena gempa dan tersisa hanya 25 meter. 

Di Kirgistan ini pula ada pengkotak-kotakan yang sangat membuat takjub. Ternyata tiap-tiap masjid pun hanya digunakan oleh suku bangsa tertentu. Di sini masjid Kirgiz, di sana masjid Uzbek, dan di dekat pasar sana ada masjid Dungan, suku minoritas keturunan Tiongkok. Berbicara tentang suku Dungan, baru kali ini pula saya takjub akan adanya suku bangsa tanpa identitas negara. Dan tanpa negara yang mengakuinya, dunia suku Dungan dibatasi garis-garis tak kasat mata yang mengungkungnya bagai kerangkeng.

Cerita tentang negeri Kirgiz ini diakhiri dengan curhat kelam tentang garis batas serupa yang dialami di tanah air. Terasa sangat personal dan menggugat!


Kazakhstan
Putih membentang sejauh batas cakrawala. Putih. Putih. Hanya Putih yang mati
Kazahktan dulu adalah negerinya para gembala, padang rumput sepemandang mata yang dihuni bangsa Kazakh dalam kemah-kemah nomaden. Sovyet datang bersama abad modernisasi. Moderinsasi yang berarti mencabut akar para penggembala beserta kemah-kemahnya dan menjejalkan mereka dalam kotak-kotak gedung apartemen. Padang-padang pun ditinggalkan, hanya untuk ditemukan kembali sebagai ladang minyak dan tambang mineral berharga. Kazakhstan pun maju pesat. Negara ini jadi salah satu negara terkaya di Asia Tengah, tapi dengan kekayaan itu harga-harga barang pun merangkak naik mencekik leher hingga kemakmuran hanya milik sebagian penduduk saja.

Ada pula kisah tentang sejumlah bangsa Korea yang dikirim pemimpin Uni Soviet ke negeri ini. Mereka terpaksa kehilangan akar, menjadi pendatang di tanah asing, kemudian melesap dan meleburkan diri. Tidak banyak lagi yang mengenal bahasa dan budaya Korea. Hanya tinggal penampilah mereka yang masih bertipe oriental, namun lainnya sudah menjadi Rusia sepenuhnya. Mungkin hanya tinggal selera kulinari saja yang masih bersisa di lidah-lidah mereka.

Perjalanan suci ke Turkestan, permata sejarah Kazakhstan.
Bekas ibukota kesultanan Kazakh di abad ke-16 ini kini menarik ribuan
Muslim dari Asia Tengah yang menjadikannya sebagai Mekkah kedua.

Jadi yang mana sebenarnya wajah Kazakhstan. Padang-padang rumput dengan kemah-kemah gembalanya? Atau kota-kota modern di mana sepiring salad berharga selangit. Atau percampuran penduduk Kazakh, Rusia, Korea, Mongol yang membentuknya, masing-masing dengan kulturnya masing-masing.
Kazakhstan kini adalah adalah percampuran budaya, kepercayaan, kebanggan dan harapan.  


Uzbekistan
“Bulan lebih berfaedah daripada matahari,” kata Hoja Nasruddin suatu hari, “karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada di waktu siang.”
Dari kelima negara -stan di buku ini, negeri Uzbek adalah bagian yang paling kutunggu-tunggu. Bukan Uzbek-nya mungkin, tapi kedua kota yang ada di sana, Samarkand dan Bukhara. Dalam semua sejarah dan fiksi lampau tentang Asia Tengah yang pernah kubaca, kota Samarkand tak pernah tak disebut. Sebuah kota yang pernah menjadi pusat peradaban dunia. Puing-puing reruntuhan Masjid Bibi Khanym, yang pada zamannya pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia, dibangun oleh sang Raja Amir Timur sebagai lambang cintanya untuk permaisuri tersayang dari negeri Tiongkok, masih menggambarkan kebesaran dan kejayaan negeri ini. Demikian pula dengan Bukhara, kota yang menjadi tempat tinggal Mullah Nasruddin, sang sufi bijak yang cerdiknya sebanding dengan kekonyolan jawaban-jawabannya.

Samarkand dan Bukhara. Tempat yang kuidamkan untuk kukunjungi.


Kota kuburan Shakhr-i-Zinda, di Samarkand, Uzbekistan.
 Barisan kuburan indah di kota makam yang diperuntukkan bagi Sang Raja Hidup
yang membawa cahaya Islam ke tengah padang Asia Tengah.

Bicara tentang Sang Amir Timur, yang bagi sebagian bangsa lain di Asia Tengah dan Timur Tengah kerap dipanggil Timur Leng, memang sedikit kontroversial. Heroisme memang relatif. Pahlawan bagi sebuah bangsa bisa jadi pembawa teror bagi bangsa yang lain. Tapi kini, di Uzbekistan, berlaku sejarah yang kabur pula. Sang Amir Timur dipuja dan dikenang di mana-mana. Padahal Amir Timur itu sebenarnya adalah keturunan Mongol yang menundukan Asia Tengah dan mendirikan Dinasti Moghul. Di mana-mana, dari Afganistan hingga Turki, ia dikenang sebagai penghancur peradaban Baghdad dan Eshafan. Tapi di Uzbekistan, ia adalah pahlawan besar. Perwujudan sebuah garis batas lain yang bernama sejarah.

Tapi Uzbekistan bukan hanya dunia masa lampau di Samarkand dan Bukhara. Uzbekistan masa kini tercermin di kota Tashkent. Pengangguran di mana-mana. Atau bahkan yang bekerja di pemerintahan pun kerap berbulan-bulan tak bergaji. Pengemis merajalela, dan di sini, bangsa Rusia malah jadi bangsa miskin dan tak malu mengemis di jalan.Tak heran sekian puluh ribu warga Uzbekistan, laki-laki dan perempuan, mengali keluar dari garis-garis batas negaranya, mengadu nasib ke Moskow, atau Tiongkok, atau Arab, bahkan ke Malaysia dan Indonesia. Pekerjaan yang halal maupun yang remang-remang seperti yang banyak ditemui di sudut-sudut Jakarta, di mana gadis Uzbek terkenal dengan kemolekannya.

Turkmenistan
Abad 21 adalah abad emas Bangsa Turkmen.
Selamat Datang di Negeri Kami yang Bermandi Sinar Matahari
Ruhmana Jalan Hidup Kami

Lepas dari mulut harimau kecemplung ke bibir buaya. Rasanya itu ungkapan yang pas untuk menggambarkan keadaang negeri utopian Turkmenistan. Setelah merdeka dari Uni Soviet, negara ini jatuh ke sebuah pemerintahan diktator yang lainnya. Seorang pemimpin yang narsisnya gak ketulungan, propagandanya heboh abis dan kekejamannya gak tanggung-tanggung (mungkin hanya Kim Jong Un dari Korea Utara yang bisa menyamai kelakuannya ini). Wajah si pemimpin agung ini ada di mana-mana, dari lembaran uang sampai patung, poster dan baliho. Belum puas mengangkat ayah dan ibunya menjadi tokoh suci negara, ia juga mengganti nama bulan-bulan di kalender dan nama-nama hari dalam seminggu sesukanya (jauh lebih narsis dari Kaisar Augustus yang hanya mengubah nama satu bulan dalam setahun gara-gara iri pada Julius Caesar). Satu hal yang gak ketulungan, ia menulis kitab suci Ruhmana yang menjadi landasan bagi semua sendi kehidupan di Turkmenistan. Belum cukup?? Bacalah Kitab Suci Rukmana tiga kali dalam hidupmu, maka kamu pasti dijamin seribu persen akan masuk surga, kata petunjuk bijaknya. Hebat sekali!

Sang Pemimpin Besar, Presiden pertama dan seumur hidup,
Putra besar seluruh rakyat negeri, Pendiri Turkmenistan yang
merdeka dan netral, Sang Turkmenbashi, Saparmurat Niyazov.

Yah, paling tidak, negara ini ada baiknya juga. meskipun semuanya dikungkung dalam kediktatoran Sang Turkmenbashi, semua hajat hidup orang banyak tercukupi secara standar. Uang tidak berarti. Patuhlah, maka sang Turkmenbashi akan mencukupimu. Transportasi umum terjamin. Pendidikan ala Turkmenbashi terjamin. Kesehatan terjamin. Euforia abad emas yang begitu memesona. Hasil cuci otak dengan bilasan ideologi.

Namun, seperti semua dinasti diktator yang dibangun di atas rangka kosong, zaman Turkmenbashi pun berlalu dengan kematiannya di penghujung tahun 2006. Tapi roda pemerintahan tetap tak berbeda jauh. Hanya wajah diktatornya yang berganti.


Sejak runtuhnya Uni Soviet dan merdekanya republik-
republik baru di Asia Tengah, simbol-simbol komunisme
dihapus dengan sengaja. Patung Lenin di dusun Toktogul,
Kyrgyzstan  ini dipinggirkan ke balik terali di taman.
Setelah sempat ditangisi dan diratapi, hanya selang beberapa tahun setelah itu, patung-patung Turkmenbashi mulai dihancurkan satu per satu oleh penggantinya, Garbanguly. Sama persis dengan peninggalan-peninggalan dan simbol-simbol Uni Soviet yang dulu menghiasi semua kota-kota kelima negara baru ini, mengalami nasib naas.
Ditepikan. Dihancurkan. Disingkirkan.
Demikian pula nama-nama jalan, gedung dan kota. Sejarah yang dulu dibentuk dan diberikan, ramai-ramai disesuaikan ulang. Garis batas baru ditorehkan, sekali lagi untuk membedakan kami dan kamu.  




Perjalanan Agustinus Wibowo ke Asia Tengah diakhiri di negeri Utopis ini. Sebuah perjalanan yang mengikuti kisahnya saja, membuat aku belajar sekian banyak hal baru tentang negeri-negeri itu. Lebih dari itu, aku juga belajar tentang kisah-kisah kemanusiaan  yang menghiasinya. Kalau saja hanya boleh ada satu hal yang kukatakan tentang kesanku setelah membacanya, maka itu adalah bahwa secarut-marutnya negeriku sendiri, aku ternyata masih sangat bangga jadi orang Indonesia. Ah....


Aku akan mengakhiri tulisan ini dengan dua kutipan yang sangat kusukai dari buku ini.
"Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita hanya seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa kita menutup diri."
Namun, meskipun demikian,   
"Jarak adalah garis batas, tetapi jalinan perasaan adalah penembusnya."
Salam. Rahmat. Spasibo.


* * *


nb: semua foto dalam review ini diambil dari agustinuswibowo.com
Sebagian besar cerita-cerita perjalanan dari ketiga bukunya, juga hasil jepretan foto-fotonya yang super keren juga ada di situs tersebut. Situs yang bikin betah untuk dijelajahi berlama-lama, hingga posting ini pun sempat terlambat beberapa waktu dari tenggat jadwal posbar BBI bulan ini  #laludigetokdivisievent  :-p 



Posting ini dipublikasikan dalam rangka mengikuti event Baca dan Posting Bareng BBI
Bulan: April 2014 - Tema buku: Perjalanan


5 komentar:

  1. keren ya... banyak yg aku nggak tau tentang negara2 asia tengah ini.. pingin cepet baca buku2 gus weng jadinya :)

    BalasHapus
  2. Iya mbak astrid, keren pake banget. Bukan cuma traveling, tp jg gak ragu unt eksplorasi budaya dan orang2nya.

    Abis ini, aku sama ka lila mau baca titik nol, care to join us?? :)

    BalasHapus
  3. mbak, link tentang review buku ini saya copy ke postingan saya yaa di http://windamaki.wordpress.com/2014/04/28/giveaway-dare-to-dream/ izin yaahh.. makasih ^^

    BalasHapus
  4. silakan winda. Semoga ga-nya sukses ya.
    *hadiahnya bener2 bikin ngiler*

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget