Jumat, 31 Oktober 2014

Hulubalang Raja


Judul: Hulubalang Raja: Kejadian di Pesisir Minangkabau
Pengarang: Nur St. Iskandar
Penerbit: Balai Pustaka (2010)
ISBN: 978-979-40-7058-1
Jumlah Halaman: 260 halaman
Penerbitan Perdana: 1934


Sinopsis

Roman Hulubalang Raja merupakan rekonstruksi sejarah. Fenomena orang "menjual bangsa" sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu dan masih terus berlangsung dan terjadi hingga kini. Itu sebabnya bangsa ini tidak pernah mampu beranjak dewasa.

Hulubalang Raja menjelaskan berbagai fenomena ini. Sebuah fiksionalisasi fakta oleh pengarang paling produktif di zamannya, Nur Sutan Iskandar.

Roman sejarah yang ditulis sebelum era kemerdekaan ini sungguh-sungguh butuh perjuangan dalam membacanya. Bukan saja ceritanya yang penuh detil nama, gelar, tempat dan negri yang terasa asing di telinga, tapi juga gaya bahasanya yang sudah lama tak terpakai dalam percakapan sehari-hari. Kisahnya sendiri adalah tentang peperangan antar negri-negri di Minangkabau, dan bagaimana kompeni (VOC - Belanda) ikut campur tangan dalam hal itu dan bagaimana dua orang lelaki muda menjalani kehidupan di tengah-tengah peperangan ini.





Tokoh pertama adalah Ali Akbar, kelak bergelar Raja Adil. Keturunan bangsawan di Kota Hulu, Inderapura, yang hendak mencarikan suami untuk adiknya, Putri Ambun Suri. Setelah mengadakan keramaian dan adu ayam di gelanggang, berbagai-bagai pinangan datang dari bermacam orang, akhirnya Putri Ambun Sari menerima Raja Sultan Muhammad Syah dari Kota Hilir yang sebenarnya telah memiliki istri, Putri Kemala Sari yang pernah menjadi sahabat Ambun Suri. Kemala Sari menjadi marah dan cemburu, ia pun menyusun rencana, dicelakakannya Ambun Suri saat mandi ke sungai bersama. Ali Akbar kemudian mencari Raja Muhammad Syah untuk menuntut keadilan, namun Raja menolak menghukum istrinya, sehingga mengakibatkan peperangan kedua daerah. Ali Akbar yang dicintai rakyatnya menyerang Kota Hulu, membuat Raja Muhammad Syah terusir. Namun tak lama, ia meminta bantuan kompeni dan menyerang balik, meluluhlantakkan Kota Hilir dan membunuh kedua orang tua Ali Akbar. Ali Akbar kemudian mengungsi ke Manyuto, ke tempat pamannya yang bergelar Raja Maulana. Dari sini peperangan Negri Inderapura terus berlanjut, Raja Adil yang meminta bantuan Negri Aceh melawan Raja Muhammad Syah yang dibantu kompeni pimpinan Groenewegen.  

Sedangkan tokoh keduanya adalah Sutan Malakewi, bangsawan muda dari Kota Gedang di kaki gunung Talang, yang awalnya sedikit manja dan luntang-lantung tanpa kerja, sibuk berjudi mengadu ayam dan makan sirih saja seharian. Setelah kalah telah dalam suatu aduan, ayah bundanya menolak memberikan uang lagi kepadanya. Ia pun merajuk dan pergi meninggalkan rumah. Malang tak dapat ditolak, bertemulah ia dengan segerombolan penyamun di tengah hutan. Terluka, ketakutan dan hampir mati, mujur ia bertemu dan diselamatkan oleh Putri Rubiah, seorang janda tua yang baru saja kehilangan putra. Watak Sutan Malakewi pun berubah, menolak memberikan nama dan gelarnya namun bertutur dan bertindak sepatutnya bangsawan nan cerdas cerdik. Putri Rubiah lalu menyarankannya mengikuti adik laki-lakinya, seorang penghulu kota Padang yang berkelar Orang Kaya Kecil. Di sini Sutan Malakewi bekerja keras dan akhirnya mendapatkan kasih perhatian dari Groenewegen, yang sedang berloji di Padang dan sedang berperang melawan Aceh. Setelah berkali-kali berbuat jasa, ia pun mendapat gelar Hulubalang Raja.


Di tengah-tengah kisah politik dan paparan jelas peperangan negeri-negeri tanah Minang dan Aceh yang terpecah-pecah dan mudah dimanfaatkan kompeni, terselip satu lagi kisah romansa. Adik Sutan Malakewi bernama Putri Andam Dewi bersusah hati ditinggalkan kakanda. Ia pun pergi meninggalkan rumah bermaksud membawa pulang Malakewi. Namun di Pauh ia terjebak kacau peperangan, dan akhirnya diselamatkan Raja Adil yang berpakaian bak orang Aceh. Setelah jelas mengetahui siapa Raja Adil sebenarnya, Andam Dewi kemudian menjelaskan asal-usulnya dan keperluannya mencari kaktuanya. Tentu saja tak diketahuinya bahwa Hulubalang Raja yang menyerang Tiku saat itu adalah Sutan Malakewi yang dicari-carinya. Raja Adil yang terpesona akan kecantikan dan keberanian Andam Dewi kemudian meminangnya menjadi istri dan membawanya pulang ke Kota Hulu. Di kala sama, Hulubalang Raja mulai mendengar selentingan kabar tentang Adinda Andam Dewi yang mencari-carinya. Terbitlah kebimbangan, antara mencari Andam Dewi ke negri Inderapura atau terus mengabdi pada kompeni di Padang.



Akhir kisahnya sedikit membuat kesal di hati. Apalagi novel ini dibaca di bulan Oktober yang notabene bulan persatuan, bulannya satu bangsa satu bahasa. Tapi sangat perlu diingat bahwa novel ini ditulis dan diterbitkan pertamakali bertahun-tahun sebelum kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Jadi taklah mengherankan jikalau pandangan kompeni sebagai "penyelamat", pembawa perdamaian, penghalau kekacauan, dan lain sebagainya masih menyertai setiap helaan nafas di kisah ini. Bahkan sebagian besar motivasi perang-perang yang terjadi pada cerita ini bukanlah berdasarkan cita-cita muluk seperti cinta tanah air, kebangsaan atau persatuan (tanah Minang) atau semacamnya, melainkan hal-hal praktis dan ekonomis, seperti pembalasan dendam dan kehormatan seorang kakak yang adiknya telah dihina, kecemburuan akan harta dan jabatan, kongsi dagang emas dan lada, dan sebagainya.

Ya, bukan karena itu saja. Terutama pula karena Raja Adil telah mendapat penjelasan tulus ikhlas dari Hulubalang raja sendiri, bahwasanya iapun sependirian dan sejiwa dengan dia.... Sama-sama cinta kepada alam Minangkabau, sama-sama memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan tanah air seluruhnya, sekalipun ia bekerja sebagai budak Orang Kaya Kecil, gubernur Kompeni itu. (hal. 249) 



Selain masalah detil peperangan, ada juga beberapa budaya yang tersoroti di sini, yang mungkin bagi kehidupan kita jadi terasa janggal. Pertama masalah judi dan gelanggang sabung ayam. Hal ini banyak disinggung dalam cerita, seakan-akan (karena memang demikian) adalah hal yang wajar dan perlu dilakukan. Kegiatan ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat minang bahkan menjadi wajib untuk acara resmi, seperti meminang putri bangsawan atau acara perkawinan. Lalu yang kedua, tentang adat mamak-keponakan yang berlaku juga saat pengangkatan raja. Awalnya aku sedikit kebingungan ihwal raja-diraja Inderapura, mengapa Sultan Muhammad Syah adalah Raja yang sah, namun ayahnya, Sutan Malafar Syah dianggap merecoki tahtanya. Namun kemudian ada sedikit penjelasan yang mengingatkanku pada budaya matriarki yang berlaku. Jadi ternyata Sultan Muhammad Syah mendapatkan jabatan ini dari garis keturunan ibunya, sedangkan Sutan Malafar Syah hanyalah dianggap tamu, istri seorang putri raja. Oalaah...




* * *

Untuk bukunya sendiri, cetakannya jelas, hurufnya standar dan enak dibaca. Ilustrasi sampulnya cukup apik dilihat, berlatar merah dengan gambaran seorang lelaki berpakaian tradisional lengkap dengan senjata kerisnya dari belakang. Yang aneh itu malah karena ada potongan pengantar dari Prof. Bahasa dan Sastra Melayu, A. Teeuw di cover depan, tepat di bawah tulisan judulnya. Blurp ya blurp, testify ya testify, tapi kok sampai ditulis di cover depan dan menghabiskan seperempat halamannya. Novel gak percaya diri ini :p

Typo entahlah, karena ditulis dalam ejaan melayu lama jadi aku sendiri kurang bisa memastikan. Gaya bahasa yang digunakan juga gaya bahasa melayu, dan juga diselingi dialog-dialog berbalas pantun yang ampuuuun deh waktu bacanya, perlu waktu semenit untuk berpikir orang ini sebenarnya mau bilang apa sih. Ini misalnya, sepotong percakapan Ambun Suri dan Kemala Sari (hal. 20):

"Tak lagi ketaya lagi,bakau di ladang rebah tegak.
Tak kami percaya lagi, Kakak bersumpah sambil gelak."
"Anak buaya di dalam paya, mandi ke lubuk batang hari.
Kalau adik tak percaya, mari ke lubuk berselam air."
"Betung serumpun di halaman, titian anak orang Judah.
Kita sekampung sehalaman, menaruh dendam tidak sudah"
"Putih pinangnya orang Lumpa, sabit di rumah raja tua
Putih tulang hamba tak lupa, sakit di dunia telah bersua"









Posting ini dipublikasikan dalam rangka mengikuti event
Baca dan Posting Bareng BBI
Bulan: Oktober 2014 - Tema Buku Terbitan Balai Pustaka



4 komentar:

  1. sampulnya cantik! pengen baca.. beli dimana mbak?

    BalasHapus
  2. iya, memang sampulnya cuantik ya.... buku-buku kayak gini suka munculnya pas pameran buku, atau bisa juga pesan ol ke penerbitnya langsung

    BalasHapus
  3. cetakan ulang tapi ga diperbaharui ya ejaannya? kirain ini ikut posbar tahun lahir :p

    BalasHapus
  4. hihihi.... ketahuan kalo aku #blingbling ya mbak vin :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget