Senin, 09 Februari 2015

Shadows of Pomegranate Tree


Judul: Iman dan Cinta di Bawah Bayang-bayang Pohon Delima
Judul Asli: Shadows of Pomegranate Tree
Seri: Islam Quintet #1
Pengarang: طارق علی Tariq Ali
Penerbit: Serambi (2008)
ISBN: 978-979-02-4042-1
Jumlah Halaman: 447 halaman
Penerbitan Perdana: 1992



Sinopsis:
Andalusia abad ke-15. Penaklukan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella terhadap bangsa Moor di granada mengakibatkan kekacauan politik yang juga berdampak pada perpindahan agama beberapa bangsawan muslim di kota itu.

Novel sejarah yang memukau ini menyoroti kehidupan Bani Hudayl, salah satu keluarga bangsawan muslim Granada, di tengah krisis agama pada masa itu.

Membaca hisfic ini beberapa kali aku tersendat. Bukan, bukan karena isinya yang kurang menarik atau penyampaiannya yang kurang menggugah. Sebaliknya, novel ini mampu membuat aku terserap dalam lekukan kisahnya, dan terpaksa harus berhenti karena terlalu membuat sakit hati. Belum cukup dengan itu, kisah ditutup dengan ending yang bikin miris dan epilognya.... whoah... bikin bulu kuduk berdiri.


"Gerejamu menebang pohon tempat berteduh semua orang. Kaupikir itu akan menguntungkan pihakmu? Mungkin saja. Tapi sampai kapan.... Orang-orang yang membakar buku, menyiksa lawannya dan membakar para penyeleweng agama di depan umum tidak akan mampu membangun rumah dengan fondasi yang kuat." (hal. 137)

Semenjak awal kisah ini memang sudah meledak dan membuat sulit bernafas. Dibuka dengan adegan penghancuran lebih dari 5000 manuskrip literatur Arab dan Yahudi tahun 1499 di Granada, Andalusia (Garnatha - Al-Andalus) - Spanyol, di mana hanya segelintir khazanah pengetahuan tentang ilmu kedokteran yang selamat dari pemusnahan ini. Tembok-tembok api melalap semua bukti peradaban Islam di yang tersimpan 195 perpustakaan kota dan perpustakaan pribadi kaum terpelajar kota ini.

Lalu kemudian pelan-pelan kita ditarik untuk mengikuti keadaan kota Granada dan seputar Andalusia dari sudut pandang Bani Hudayl, anak cucu keturunan Farid Al-Hudayl yang dahulu merupakan pahlawan perang kota Granada saat mempertahankan wilayah Andalusia dari serbuan Spanyol. Namun sejarah berputar, menyusul kejatuhan Istambul, Granada pun akhirnya menyerah dalam sebuah perjanjian damai antara Sultan Abu Abdallah dengan Ratu Isabella, di mana salah satu prasyarat dalam perjanjian ini adalah kaum Moor dan Yahudi diberi kebebasan menjalankan ibadat dan kepercayaannya. Namun dengan datangnya Uskup Agung Toledo, Cardinal Ximénez de Cisneros, semuanya berubah. Penganut Islam dan keturunan Yahudi pun makin terdesak hingga akhirnya hanya ada tiga pilihan, berpindah agama, mati atau mengangkat senjata dan melawan.

Keluarga Hudayl pun tak terelakan dari pilihan-pilihan ini. Masing-masing dengan dasar pemikirannya sendiri-sendiri, demi kehormatan atau demi masa depan mereka.

Terjalin dalam latar sejarah ini, adalah kisah kehidupan sehari-hari mereka. Kisah tentang kehangatan keluarga yang sedang terombang-ambing pilihan, serta kisah-kisah cinta, lama dan baru, yang terkembang di sudut-sudut rumah mereka dan di bawah naungan pohon-pohon Delima. Di dalamnya cukup aku dikejutkan dengan penyibakan terang-terangan detail-detail skandal, aib dan tabu berbagai kisah cinta terlarang, incest, anak di luar nikah hingga hubungan homoseksual yang terjadi, yang dicecapkan oleh lidah-lidah para penggosip maupun pengakuan dari yang bersangkutan sendiri.

Menarik sekali mencermati bahwa penulis kisah ini, walaupun jelas sedang mengkisahkan periode kejatuhan Andalusia pada kekuasaan Castilan dan perihnya kehancuran sebuah keluarga bangsawan Muslim terhormat saat itu, tetap mempertahankan keseimbangan karakterisasi antara berbagai kubu. Tidak ada yang benar-benar 'benar' dalam setiap tindakannya. Di sisi Castilan, selain ada Cardinal Ximénez dan nanti di penghujung kisah ada Kapten Hermann Cortez, tetap ada sisi ramah yang diwakili Bangsawan Don Inigo de Mendoza. Di sisi rakyat Moor, ada berbagai jalan pikiran yang masing-masing dihidupkan dengan banyak karakter menarik, Meekal Ibnu Farid yang berganti nama menjadi Miquel dan diangkat menjadi Uskup Qurtuba, memilih berpindah agama karena kekecewaan terhadap kekhalifahan Islam dan menganggap itulah 'jalan keselamatan' satu-satunya yang harus ditempuh seluruh keluarga Hudayl. Walid al Zindiq, si skeptis yang telah puas mereguk asam garamnya kehidupan berusaha hidup dengan tidak memberikan alasan untuk dibunuh. Umar Ibnu Abdallah, sang pemimpin keluarga Hudayl, selain harus memikirkan keselamatan keluarganya, juga harus menyertakan kehidupan 2000 umat pengikutnya di desa Hudayl, yang bergantung padanya. Ibnu Daud sang pecinta damai, akhirnya memilih pilihan lain, ia membawa mempelai mudanya pergi, jauh dari hiruk-pikuk peperangan yang akan pecah kapan saja. Sedangkan darah muda Zuhayr Al-Fahl, mengentalkan jiwa pahlawan dari kakek buyutnya, dan memilih mengangkat pedangnya di jalan Jihad.

"Teman mudaku, hidup kita berada dalam sebuah lengkungan yang membentang sejak kelahiran hingga liang kubur. Usia senja dan kematianlah yang menjelaskan pesona masa muda seseorang. Dan penghinaannya untuk masa depan."  (hal. 386)

Masing-masing dengan pilihannya. Masing-masing dengan konsekuensinya.

"Tak ada yang bisa di dapat dari jeratan kehidupan dan rutinitasnya. Satu-satunya kebebasan yang tersisa hanyalah jalan bagaimana kita mati, dan kau juga bahkan ingin mengambilnya dariku." (hal. 348)

Akhirnya memang semua jalan tampaknya menyisakan kepedihan mendalam.



* * * 


Untuk edisi terjemahan bahasa Indonesianya ini, cukup enak dibaca. Kalimatnya mengalir dengan penggunaan kosa kata-kosa kata yang pas dengan suasana periode waktu tersebut. Nama-nama geografis kota dan wilayah, meskipun dalam penceritaan menggunakan nama Arab, diberi penjelasan nama yang lazim dipakai di saat ini, sehingga mudah diikuti. Typo ada satu atau dua kali. 

Covernya, meh. Aku jauh lebih suka cover aslinya yang simple tapi artistik dan pas dengan judulnya.






https://www.goodreads.com/review/show/305708821
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget