Judul: A untuk Amanda
Pengarang: Annisa Ihsani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (2016)
ISBN: 978-602-03-2631-3
Jumlah Halaman: 264 halaman
Penerbitan Perdana: 2016
Lihat sinopsis
Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.
Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?
Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.
Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.
*kl mau dibilang suka, sih suka.... tapi lebih suka teka-teki terakhir*
Kesan itulah yang muncul di benakku saat mengakhiri novel ini. Ini sama sekali bukan novel yang buruk lo, bagus malah... terutama bagian konseling Amanda dengan Dokter Eli. Apalagi tema remaja depresi yang bagus dan realistis dari pengarang lokal seperti ini jarang-jarang kutemui. Tapi masalahnya aku kadung jatuh cinta setengah mati sama novel debut pengarang ini dulu.
OK, tentang novel ini, isinya berkisah tentang seorang Amanda, gadis muda yang baru saja masuk SMA. Ia anak baik-baik, yatim (ayahnya meninggal kecelakaan saat ia masih anak-anak), tinggal bersama ibu yang tetap memilih menjadi single-parent. Ia juga sangat pandai hingga mendapat beasiswa akademik untuk masuk di 'SMA swasta termahal kedua' di kotanya. Di sekolahnya yang baru ini, pelajaran berjalan lancar, Amanda menjadi straight A student, disayangi guru, bahkan mendapat dukungan penuh bila ia ingin mengikuti tes masuk sebuah perguruan tinggi bergengsi mengambil jurusan fisika yang sangat diminatinya. Amanda juga punya seorang sahabat baik sedari masih bocah bernama
#eh
Yah, tentu tidak selesai di situ lah.
Dari sini, keadaan memburuk bagi Amanda. Berawal dari pikiran sederhana tentang masa depannya, otaknya tiba-tiba berpacu tak karuan dan kehilangan arah. Amanda tiba-tiba merasa tak percaya diri. Ia merasa tak pantas mendapatkan nilai A. Tapi saat nilainya turun, ia jadi merasa jauh lebih buruk. Serentetan peristiwa-peristiwa kecil setelah itu semakin memperparah keadaannya. Ia menjauh dari teman-temannya karena berpikiran tak ada kegiatan yang menyenangkan bersama mereka. Ia menjauh dari Tommy, ia menjauh dari ibunya, mengurung diri seharian di kamar. Hingga di satu titik kritis, ia bahkan menyianyiakan sebuah kesempatan besar bagi masa depannya.
Esoknya, Amanda mengerahkan seluruh pertimbangan logisnya yang masih tersisa, dan memutuskan ia butuh pertolongan,
DEPRESI.
Inilah diagnosa Dokter Eli. Amanda mengalami Depresi. Bukan jenis depresi karena masa lalu yang buruk, post-traumatis atau sejenisnya (seperti kejadian di cerita ini), tapi depresi karena Amanda cenderung perfeksionis dan kecanduan terhadap prestasi. Sebuah distorsi kognitif yang mengabaikan hal-hal positif dan hanya mempercayai bagian-bagian negatif kehidupannya.
Aku suka sekali bagian dialog-dialog Amanda dengan Dokter Eli. Dokter Eli jelas sekali menghargai kecerdasan Amanda, dan dengan membiarkannya bercerita dan membuka diri, kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, membuat Amanda berpikir untuk dirinya sendiri dan menjawab-pertanyaan-pertanyaan sulitnya sendiri. Kegalauan Amanda pelan-pelan dibimbing menuju pendewasaan cara pikirnya. Top dah karakterisasi Dokter Eli ini.
Pada akhirnya, novel ini memang tidak memberikan happy-ending yang gak masuk akal. [ spoiler Novel ditutup sangat realistis dengan perjuangan Amanda yang masih terus berlanjut, setiap hari ada pertempuran pemikiran buruk melawan pemikiran baik dalam otaknya. Ia masih sangat muda dan hidupnya masih panjang. Dan ia harus berdamai dengan dirinya sendiri. Setiap hari!]
Aku juga suka ide ceritanya, suka gaya bertuturnya (POV Amanda mengalir enak untuk dinikmati), suka konfliknya. tapiii..... gak terlalu suka settingnya yang kagok. Mau dibilang lokal tidak mungkin (tahun ajaran baru di sini bukan bulan September, atau cara penilaian di sekolah masih menggunakan sistem angka, atau sistem penerimaan mahasiswa baru PT yang sangat berbeda). Tapi mau dibilang bersetting di negara barat, nama-nama tokoh dan beberapa latar pendukungnya, terasa 'endonesha' sekali (nasi goreng dan mie ayam). Galau... segalau Amanda.
Meskipun demikian, ada beberapa tokohnya yang mencuri perhatian. Dokter Eli adalah salah satunya. Yang lain adalah Rashid, teman Amanda di klub komputer, yang juga saingan terberatnya dalam hal akademik. Awalnya tokoh ini hanya kuanggap sebagai pelengkap cerita, namun di akhir-akhir, saat ia terus mendampingi Amanda dan menyemangatinya untuk bersaing menjadi lulusan terbaik, aku bisa tahu pasti kalau Rashid ini orang baik dan menyenangkan. Sayang Amanda terlalu tenggelam dalam kepalanya sendiri hingga tak menyadari hal ini. Demikian juga karakter Helen/Helena. High-school queen yang satu ini, meskipun masih stereotipe klik populer di sekolah, namun setidaknya ia masih punya hati untuk setia menjadi teman Amanda, walaupun Amanda "bukan siapa-siapa". Sekali lagi, sayang Amanda terlalu tenggelam dalam kepalanya sendiri hingga tak menyadari hal ini - sampai Dokter Eli mengucapkannya secara langsung kepadanya. Karakter Erwin juga sebenarnya kurasakan menarik, hanya saja ia sedikit kurang tergali dan mencorong di cerita ini.
Anehnya, tokoh Tommy yang awalnya jadi lead-male character malah tenggelam di paruh akhir cerita, hingga muncul lagi bagian akhiiirr.
Kesimpulannya, kisah yang sangat menarik, namun tetap ringan menghibur. Membuatku banyak belajar tentang penyakit mental bernama depresi. Kisah Amanda membuatku iba, tapi pada akhirnya, aku senaaaang sekali karena Amanda memutuskan untuk berjuang dan meneruskan hidupnya meski sesulit apapun. Semangaaaaat buat Amanda!!!
https://www.goodreads.com/review/show/1590217212
Wah, saya harus segera baca.Buku sudah ada tinggal lahap. Dan kalo saya baca reviewnya, menarik sih. penasaran, ini ada obsesi dengan menjadi yang terbaik nggak ya?
BalasHapusbukan cuma obsesi jadi yang terbaik, tapi juga all-or-nothing. jadi yang terbaik atau semuanya gak ada gunanya!
HapusBagus lo ini ceritanya, baca d......