Kamis, 31 Juli 2014

Flowers for Algernon

Judul: Charlie si Genius Dungu
Judul Asli: Flowers for Algernon
Pengarang: Daniel Keyes
Penerbit:  Ufuk Press (2006)
ISBN: 979-33-3002-3
Jumlah Halaman: 457 halaman
Penerbitan Perdana: 1959
Literary Awards: Hugo Award Nominee for Best Novel (1967), Nebula Award for Best Novel (1966), Locus Award Nominee for All-Time Best Novel (1975)



Charlie, seorang penyapu lantai, terlahir dengan IQ 68 dan selalu jadi bahan olok-olok teman-temannya, hingga suatu saat eksperimen yang dimaksudkan untuk meningkatkan kecerdasan manusia mengubahnya menjadi seorang jenius.
Tapi kemudian, Algernon, seekor tikus yang sebelumnya sukses melalui eksperimen yang sama, mengalami kemunduran kecerdasan secara drastis dan akhirnya mati mengenaskan. Lalu bagaimana dengan Charlie?


Sedikit sulit untuk mengkategorikan novel ini. Secara latar belakang cerita, ini adalah genre science-fiction, di mana keajaiban medis membuat manusia menjelajah teritori baru, secara karakterisasi, ini adalah novel psikologis, menyoroti sisi emosional seorang bocah yang tiba-tiba diberi tubuh dan kecerdasan orang dewasa, kemudian nanti di paruh kedua kisah, pembaca dihadapkan pada suatu kepastian pahit bahwa hanya ada akhir yang tragis untuk si tokoh utama ini, kebodohan dan kematian. Ini bukan hanya kisah berkembangnya kecerdasan Charlie, tapi juga naik turunnya sisi emosional seseorang yg tak pernah sungguh 'merasakan', saat ia menyadari kompleksitas dunianya, terlebih saat ia tahu, waktunya tidak lagi tersisa banyak. :'(




Kisah ini berputar di sekitar seorang Charlie, pria berusia 32 tahun dengan kecerdasan setara bocah 7 tahun. Ia bekerja di sebuah pabrik roti, di mana ia sering diolok-olok, namun juga disayang oleh rekan-rekan sekerjanya. Berusaha untuk membuat dirinya lebih cerdas, Charlie mendaftar di sekolah malam di Beekman College Center for Retarded Adult. Di sana ia bertemu dengan Alice Kinnian, sang guru dan juga Nemur dan Strauss, dua orang ilmuwan yang meriset tentang cara meningkatkan kecerdasan. Seekor tikus putih bernama Algernon telah menjalani sebuah prosedur peningkatan kecerdasan ini dan mendapatkan hasil positif yang mencengangkan. Saat pertama bertemu Algernon, Charlie bertanding mencari jalan keluar sebuah labirin yang dirancang khusus... hasilnya, Algernon mengalahkan Charlie dengan telak.

Melihat antusiasme Charlie dalam belajar, Alice merekomendasikannya untuk menjalani prosedur yang sama dengan Algernon, dan setelah melalui perdebatan panjang, kedua ilmuwan tersebut setuju menjalankan eksperimen ini pada manusia, pada Charlie. Sekali lagi, prosedur peningkatang kecerdasan ini mendapatkan hasil positif yang amat sangat mencengangkan dan menggembirakan. IQ Charlie meningkat dari 68 menjadi 185 hanya dalam beberapa minggu. Dari orang dewasa yang terkebelakang menjadi seorang jenius yang menguasai 6 bahasa asing dan membaca berbagai jurnal ilmiah hanya dalam hitungan hari. Akan tetapi peningkatan kecerdasan yang terlalu tiba-tiba ini tidak diimbangi dengan pengembangan pribadi dan kecerdasan emosional. Saat kesadarannya akan bahasa lisan dan tertulis semakin mendalam, demikian pula kesadarannya akan dunia sekitarnya. Charlie baru menyadari bahwa rekan-rekan kerjanya di pabrik roti menyenangi keberadaannya hanya karena mereka dapat mengolok-olok dan mempermainkan dirinya, kedua ilmuwan yang mendampinginya sekarang ketakutan akan kejeniusannya, dan bahwa ia, memiliki perasaan cinta pada Alice - beserta rasa cemburu dan seluruh gejolak seksual yang menyertainya. Semua hal itu membuat Charlie ketakutan, kesepian, menarik diri sekaligus sombong, tak terkendali dan tidak mampu mengenali rasa simpati dan empati.

Kemudian roda kembali berputar. Algernon mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kecerdasannya mulai berkurang hingga ia bahkan tak mampu lagi melewati labirin sederhana. Algernon akhirnya mati begitu saja. Charlie kemudian menemukan faktor kesalahan dalam prosedur riset Nemur-Strauss, dan itu berarti hal yang sama yang terjadi pada Algernon akan terjadi pula pada dirinya. Charlie menemukan bahwa ia, si jenius, akan kembali menjadi terkebelakang, lebih bodoh dari dirinya sebelum menjalani prosedur, dan akhirnya mati sendirian. Tepat seperti Algernon.




Aku sangat menyukai kedua tahap perubahan Charlie dalam buku ini. Saat ia menjadi cerdas dan menyadari dunia luas dan saat ia menyadari dirinya akan segera kembali menjadi dungu dan meninggal. Kedua tahap ini didetailkan dengan sangat halus dan manusiawi, dan karena novel ini disusun dari catatan-catatan harian Charlie, pembaca dapat dengan sangat dalam mengerti kedukaan dan kebingungan yang dirasakan dalam hatinya. Sangat menyentuh hati. Bahkan pada saat Charlie yang jenius bertindak luar biasa sinis dan tak simpatik pada rekan-rekan kerjanya di pabrik roti, pada Nemur dan Strauss, atau bahkan pada Alice, kita mendapatkan privilege untuk mengerti kejadian tersebut dari sudut pandang Charlie. Ternyata memang bukan itu maksud hatinya, tapi ia memang benar-benar bingung dan tak mengerti masalah hubungan antar-personal, hubungan antar manusia, kecerdasan emosional yang membalut semua hubungan kita dengan orang lain. Dan kemudian, saat ia menyadari kecerdasaannya hanya akan bertahan beberapa waktu lagi, kembali aku tersedu melihat kesepian hati Charlie yang, sekali lagi, tidak dapat dijelaskannya pada orang lain. Adegan saat ia mencari dan mewawancarai sendiri institusi yang dapat merawatnya sebagai seorang dewasa yang terkebelakang, sungguh membuat hatiku teriris-iris. Juga bahwa satu hal yang selalu diingatnya sebelum ia menjadi dungu adalah untuk membawa bunga untuk makam Algernon, si tikus. Sebuah metafora tragis bahwa ia juga ingin diingat meskipun saat-saat kesadarannya sebagai manusia dewasa yang cerdas hanya bertahan dalam hitungan bulan.


* * *


Untuk edisi bahasa Indonesianya, aku cukup suka penterjemahannya. Kesalahan-kesalahan bahasa yang dilakukan Charlie di awal dan akhir novel, dapat diakomodasi dengan sangat cantik di sini. Kalimat-kalimatnya juga mengalir lancar, baik saat menggunakan kalimat sederhana yang digunakan Charlie si dungu, maupun kalimat-kalimat rumit dan canggih di tengah buku, saat Charlie jenius membahas jurnal dan kehidupannya. Typo, sulit dikatakan, karena seperti kataku tadi, di awal dan akhir, memang catatan hariannya punya banyak sekali kesalahan bahasa.

Untuk ilustrasi covernya, aku sama sekali tidak suka, yang versi ini maupun versi yang satu lagi (sama-sama Ufuk press). Aneh, dan kenapa digambarkan dalam ilustrasi seorang anak kecil, sedangkan Charlie di novel sudah berumur 32 tahun. Seorang dewasa yang terjebak dalam otak seorang bocah. Mungkin seleraku lebih menyukai versi first edition keluaran Harcourt, Brace & World. Sederhana dan terasa lebih pas, mengingatkan hari-hari awal Charlie di lab, di mana ia berkali-kali harus menjalani tes Rorschach. Juga gambar buket bunganya yang entah kenapa membuatku merasa sangat sedih.




* * *

Notes,
Posbar BBI bulan ini, kok aku baca buku yang dua-duanya punya karakter utama bernama Charlie ya. Bentuk penulisan novelnya juga mirip, jenis-jenis Epistolary novel. Di The Perks, si Charlie menceritakan kisahnya lewat sekumpulan surat, sedangkan si Charlie yang di sini berkisah lewat catatan hariannya.
Kebetulan....sungguh kebetulan.... #barusadarsetelahbikinripiuyangtelatbanget #abaikan ^^ 




https://www.goodreads.com/review/show/759019823







Posting ini dipublikasikan dalam rangka mengikuti event
Baca dan Posting Bareng BBI
Bulan: Juli 2014 - Tema buku: Sicklit



1 komentar:

  1. iya. aku juga kurang suka kover terjemahannya :D
    tapi kalau cerita suka bgt.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget