Judul: Tangan Kelima: 1 Mobil, 4 Nama, 5 Misteri
Pengarang: Christian Armantyo
Penerbit: Visimedia (2013)
ISBN: 978-979-065-1838
Jumlah Halaman: 366 halaman
Penerbitan Perdana: Mei 2013
Dari sinopsis:
MERCEDES Benz SL klasik merah menyala ditemukan di gudang rumah tua. Sang pemilik rumah meninggal tiba-tiba beberapa waktu sebelumnya. Tanpa ada kejelasan penyebabnya. Di dalam mobil klasik itu ditemukan BKPB berisi nama-nama pemilik sebelumnya dan sepasang sepatu perempuan yang masih baru.
RANTAU, sang ahli waris pemilik rumah menemukan berbagai kejanggalan di sekitar gudang tempat mobil itu ditemukan. Tak ada nama sang ayah di BKPB itu. Sederet tanda tanya memenuhi kepalanya. Mobil siapakah itu? Rantau akhirnya memutuskan menelusuri satu persatu nama yang tertera di dalam buku kepemilikan mobil itu. Ia tak pernah menyangka, penyelidikan kecil itu akan membawanya ke dalam labirin misteri yang semakin rumit. Misteri yang berusia puluhan tahun.
Novel ini digadang-gadang menjadi angin segar bagi genre novel misteri/thriller di Indonesia. Itulah yang membuat saya ingin sekali membacanya. Sayang sekali saya belum menemui kenikmatan dalam mengunyah cerita ini, sejak awal hingga akhir, karena berbagai sebab. Gaya bahasa, logika cerita maupun karakterisasi tokoh-tokohnya.
Membaca beberapa halaman awal novel ini, benak saya sudah bertanya-tanya. Ini katanya novel misteri kok ditulis dengan bahasa berbunga-bunga sekali. Ini contohnya:
Tiga... empat... dan yang kelima kali, senyum raja kurajut lebar seakan optimis memandang masa depan yang menyilaukan seterang kilau blitz kamera yang baru saja menembak mataku. Aku, ayah, dan ibu berpose simetris kaku dalam satu frame dengan latar belakang buku-buku dua dimensi yang semu.(hal. 7)atau yang ini:
Aku masih berdiri kaku dengan pandangan yang terpaku. Perintah barusan terasa berat. Bukan soal tenaga raga, tetapi ini tentang rasa berongga. (hal 16)atau yang seperti ini:
Tidak terasa, empat jam sudah kami berjerih, keletihan sudah memacu laktat yang menegangkan bisep, beban bersandar pada sendi yang mulai kaku. Pekerjaan ini harus segera rampung sebelum gelapnya malam membiaskan mata. (hal. 28)Dan ya, gaya berbahasa seperti ini konsisten dipertahankan sepanjang novel, bukan hanya pada satu atau dua paragraf saja. Mungkin sebagian orang menyukainya, tapi saya sedikit merasa berlebihan, apalagi ini bukan novel romansa chicklit atau teenlit yang layaknya mendayu-dayu. (tiba-tiba jadi teringat masalah matahari dan vitamin D. #eeaa #ceritalama #abaikan) Ya sudahlah, gaya penulisan seorang pengarang adalah hak prerogatifnya. Suka atau tidak, saya masih ingin membaca ceritanya.
Lanjut. OK, jadi si tokoh utamanya ini, Rantau, seorang pemuda yang baru saja wisuda sarjana jurusan arkeologi, tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Ayah kandungnya baru saja meninggal dunia. Rantau dan temannya, bernama Daan Mogot, pergi ke Bandung untuk membereskan rumah ayahnya yang akan segera dijual. Di sana, di dalam garasi, eh gudang ding, mereka menemukan sebuah mobil antik, Mercy mewah merah warnanya. Lalu ceritanya, si Rantau ini berusaha mencari-cari siapa pemilik mobil itu, dan apakah mobil itu ada hubungannya dengan kematian ayahnya yang begitu tiba-tiba. Tamat. Ya maksudnya gak langsung tamat di situ. Tapi dijabarkan selama 365 halaman + epilog berupa surat di cover belakang buku, dan dirumitkan dengan perseteruan dua keluarga yang sudah berlangsung tiga generasi, sindikat narkoba, persembunyian harta karuan, pindah setting cerita ke lokasi eksotik, plus tentu saja tidak ketinggalan cewek cantik sebagai bumbu
Peringatan. Bagian ini full spoiler. Jadi jangan dibaca kalau tidak ingin mengintip ending novel ini.
1. Tentang sepatu mahal merk ternama yang ditemukan di Daan di bagian bawah kabin mobil.
Ia mengeluarkan remasan kertas-kertas minyak yang menutupi isinya. Kini terlihat jelas di dalamnya sepasang sepatu hak tinggi warna merah menyala, senada dengan warna mobil ini. Meskipun kondisi sepatu ini masih bagus, sama sekali tidak terlekat label harga maupun bon pembelian di dalamnya. Berarti sepatu ini memang bekas pakai yang disimpan di dalam kotak.Tapi naaanti di akhir cerita, itu ternyata sepatu baru, akan dijadikan kado pada ulang tahun ibu Rantau oleh ayahnya.
Uhm, ya, ini saya rasa penipuan plot.
2. Waktu mobil itu mau dibawa pulang ke Jakarta, Rantau dan Daan sempat ragu-ragu, takut diberhentikan polisi karena plat mobilnya udah mati 3 tahun. (Iya, dalam laci mobil ada BPKP, tapi gak ada STNK-nya. Siapa juga gitu yah yang mau beli mobil gak pake STNK, plus platnya udah mati 3 tahun. *kan... mobil antik!! syusyah nyarinya, tau! buat kado lagi.* Terus yang mau bayar pajaknya bertahun-tahun siapa? Yang beli apa yang jual? Tunggu pemutihan kalee...) Tapiii..... di Jakarta, Rantau santai saja tuh memakai mobil itu kesana kemari mencari pemiliknya. Lupa mungkin ya sama kekhawatiran malam sebelumnya.
3. Sampai di Jakarta, bukannya itu mobil dibawa ke rumah orang tuanya, eh malah dititipkan di kos-kosan Daan. Katanya, Rantau takut ibunya banyak tanya dan dia tidak punya penjelasan. Uhhm... bagaimana, kalau sebaliknya. Bagaimana kalau ibunya malah punya penjelasan atas mobil itu? (siapa tahu ayahnya pernah sounding ke ibunya mo ngasih Rantau hadiah kelulusan berupa mobil, meski ga bilang mobil kayak apa. kan yg namanya mobil, apapun bentuknya, itu hadiah yang cukup mewah) Apa kemungkinan itu tidak pernah terbersit di benak Rantau. Rantau tidak pernah bertanya, baik langsung ataupun tidak pada ibunya. Melihat hubungan ayah dan ibu kandungnya yang masih baik-baik saja meskipun sudah bercerai, bukan tidak mungkin ibunya sedikit banyak tahu kabar tentang bekas suaminya itu. Bahkan jika mobil dan sepatu itu milik 'pacar baru ayahnya' lalu kenapa? Ibunya juga sudah menikah lagi bertahun-tahun kok. Rantau ini saja yang suka berpikir rumit-rumit. Meskipun toh ibunya tidak tahu apa-apa tentang mobil itu - misalkan ayahnya mau 'surpriseee!' - jika mobil itu tersimpan di rumahnya sendiri dan bukan di kos Daan, komplikasi cerita tentang Daan dan mobil itu di paruh akhir novel tidak perlu terjadi.
4. Mobil ditaruh di kos Daan di daerah Depok. Dari penggambaran setting, yang saya tangkap ini bukan kos mewah, di mana para penghuninya terbiasa membawa mobil tanpa mengundang tanya. Ini kos di daerah perkampungan, kemungkinan dekat kampus. Nah lalu Rantau heran kenapa banyak orang sekitar yang tahu tentang mobil itu. Tampaknya Rantau benar-benar naif tentang hasrat ke-kepo-an seseorang, terutama menyangkut mobil mewah, warna merah menyala, tampak antik pula, yang nyangkut di kos-kosan sederhana, diparkir di garasi terbuka, bisa dilihat semua orang yang punya mata. Rantau juga sempat heran saat ada orang yang (mungkin) mau mencuri onderdil mobil itu. Ya iya laaah.... wong spion mobil, logo pabrik, dan onderdil lain sebagainya, kalo lagi brenti di lampu merah di Jakarta aja bisa dijambret orang. Kok heran. Sudah tahu begitu, kok ya tetap tidak ada niat untuk memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Haadeeww....
Eh betewe, Volkswagen Beetle milik Daan (yang disebut di hal. 37 itu) diparkir di mana ya? Kok gak ada di kos-kosan?
5. Tentang Anna. Nah menyangkut tokoh ini juga buanyak anehnya, kejanggalan-kejanggalan kecil dalam alur ceritanya (atau mungkin juga disengaja oleh pengarang, untuk memperlihatkan ketidakmampuan Rantau melihat kebohongannya). Yang paling mencolok mata yang ini. Rantau dan Daan sedang mengunjungi salah satu pemilik mobil yang pernah tercatat di BPKP. Anna tidak diajak karena masalah heroin dan emas dalam mobil. (yup heroin dan koin-koin emas. jangan melongo dunk. ceritanya begitu kok.) Nah tiba-tiba Anna sudah muncul menunggu di mobil antik. Waktu ditanya, katanya dia punya peta pemilik mobil yang dibuat Rantau. OK penjelasan bisa diterima. Tapi, yang jadi masalah, kok bisa Anna ke tempat itu, bersamaan waktunya dengan waktu Rantau dan Daan juga ke tempat itu. Kebetulan. Amat sangat kebetulan! Bukan sejam sebelumnya, bukan lima menit setelahnya. Pokoknya pas banget. (Atau mungkin Anna memang sedari tadi, sejak subuh malah, sudah menunggu di alamat itu agar bisa bertemu Rantau ya).
6. Masalah heroin itu, Rantau ini hebat sekali lo. Berpengalaman mungkin. Sekali lihat sekilas langsung tahu kalau bubuk butih yang ditemukan itu jenisnya Heroin, bukan morfin, kokain, amfetamin atau jenis in-in yang lain, bukan pula tepung, gula halus, atau bedak talk. (emang lo pikir mo bikin kue atau bayi abis mandi?). TOP dah pokoknya!
7. Rantau sama sekali tidak memperhatikan kegelisahan Daan, dan Daan tidak pernah sekalipun menceritakan penyebabnya. Katanya kalian berdua teman baik... teman lama sejak SMP sampai lulus kuliah?? Kenapa Daan tidak pernah menceritakan apa yang terjadi di seputar dia dan kos-kosannya gara-gara mobil itu. Rantau berhak tahu, dia harus tahu malah, karena mobil itu tanggung jawab dia, dan kejadian-kejadian terhadap Daan itu bisa menjadi dasar pertimbangan untuknya. Apa dasar Daan menutup-nutupi semua itu? Please, apaaa?? Saya tidak bisa memikirkan satu pun alasan yang cukup logis untuk masalah ini.
8. Daan menjual mobil itu?!? Apa hak dia? Dan untuk apa? Melindungi Rantau? Kalau memang ingin melindungi Rantau harusnya Daan menceritakan semua kejadiannya dan mencari jalan keluarnya. Bukan sok tau dan sok kuasa semena-mena menjual mobil itu. Sungguh tidak masuk akal.
9. Saat Rantau sudah tahu semua rahasian dibalik kepemilikan mobil itu, Daan diceritakan kembali dan mendatangi rumah orang tua Rantau. Mengapa Rantau tidak pernah menuntut penjelasan dari Daan sampai berpuluh tahun setelahnya. Bayangkan kejadian ini, sebuah mobil impian, mewah dan antik diberikan adalah hadiah terakhir dari sang ayah yang meninggal tak lama kemudian. Mobil itu tiba-tiba dijual oleh seseorang teman, tanpa ijin dan penjelasan (waktu itu Rantau juga merasa uang hasil penjualannya dibawa lari Daan). Lalu si teman menghilang. Kemudian tiba-tiba si teman ini muncul lagi. Kalau saya jadi Rantau sih, biarpun ada di ujung dunia, saya akan pulang menemui Daan, tonjok mukanya sekali, baru minta penjelasan selengkap-lengkapnya. Itu mobil peninggalan ayahnya satu-satunya. Hadiah dia yang terakhir. Kenangan kebahagiaan ayahnya. Kok si Daan ini, apapun alasannya, tega menjualnya.... Tapi.... ternyata Rantau tetep adem ayem. Mungkinkah? Kendari-Jakarta naik pesawat hanya 2 jam kok. Atau mungkin Rantau sudah tidak pernah terkenang lagi pada Ayahnya, tidak lagi sedikitpun menghargai persahabatannya dengan Daan. Katanya kalian berdua teman baik... teman lama sejak SMP sampai lulus kuliah??
Di luar hal-hal itu semua di atas, terus terang saya juga tidak menyukai karakterisasi tokoh utamanya, si Rantau ini. Rantau ini egois, galau, sok pintar dan lebih banyak mendatangkan kekacauan daripada menyelesaikan masalah. Katanya jago analisis masalah, tapi pemikirannya terlalu rumit sampai tidak bisa melihat penjelasan yang sederhana. Bisa dibilang misteri kepemilikan mobil ini yang menyelesaikan bukan Rantau, tapi Elora, saat gadis ini dengan cerdik mendapatkan alamat Elisabet Mona yang sebenarnya. Selain itu, menurut saya Rantau ini juga kurang ajar. Sikap dan komentar-komentarnya saat berbicara dengan orang-orang yang lebih tua sungguh tidak kena di hati. Saat ia mengatakan pada Anna untuk melemparkan recehan pada Opa Long, lansia setengah pikun berusia 80-an dan duduk di kursi roda, saya sempat shock dan berhenti membaca buku ini. Sebagaimanapun Anda Rantau, kesal terhadap anaknya, Opa Long itu tetap orang tua terhormat. Candaan Anda itu melecehkan dan tidak pada tempatnya. Semoga saja nanti saat Ibu Anda tua dan renta, tidak ada anak muda konyol yang menganggapnya pengemis jalanan. Maaf. Tapi saya kesal sekali di bagian itu.
Sayang sekali premis cerita yang awalnya menarik, jadi belepotan dalam perjalanan. Untuk sama-sama karya debut penulis genre thriller Indonesia, saya lebih menyukai Rencana Besar yang saya baca belum lama ini. Plotnya lebih solid dan logis.
Untuk bukunya sendiri, dan saya suka kejutan kecil dalam bentuk surat di sampul belakang buku. Unik. Masalah typo tidak ada, tapi halaman-halaman sebelum awal tiap bab, yang ditulis dengan font aneh dan dasar ilustrasi greyish-tone, saya skip karena benar-benar sulit dibaca. Lagipula jika dibaca ternyata juga tidak terlalu nyambung dengan alur cerita. Cover, cukup bagus, tapi sedikit aneh karena ilustrasi orang berjas yang sedang mengeluarkan uang dari lengan bajunya laksana pesulap, di kaca mobil dan diulang ilustrasi buramnya di belakang judul. Di sampul belakang, sebelum sinopsis ada tulisan seperti ini:
NO GAME LIKE IT, NO TALE LIKE IT, NO LOVE LIKE IT
Duh... lebay pisan.
em.... mwahahhaha. reviewnya jelas sekaliii. :D
BalasHapusuhm... kebiasaan lamaku nih mbak vina, kalo lagi kesel sama satu buku, ngomel-nya bisa kebablasan panjangnya. *tertundukmenyesal* *padahalnggak* ^_^
BalasHapusBPKB kak cyn... :))
BalasHapuseh... lha aku nulisnya apa??
BalasHapuswakakaka.... salah to, typo ini.... typo *ditipex dulu layarnya* :))
belum dibacaaaaa, padahal PR dari penerbit, huhuhu
BalasHapus