Judul: Jalan Tak Ada Ujung
Pengarang: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia (1992)
ISBN: 979-46-1106-9
Jumlah Halaman: 367 halaman
Penerbitan Perdana: 1952
Menjelang hari pahlawan 10 Nov kemarin, tiba-tiba teringat akan keberadaan buku ini di timbunan. Dan karena tidak terlalu tebal, jadilah novel
Jakarta selama bulan-bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, adalah kota yang dicekam ketegangan. Ketegangan antara kelompok pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan dengan berbagai kesatuan tentara Jepang yang menunggu-nunggu kedatangan tentara sekutu, karena pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan sedang asik mengumpulkan persenjataan dari pasukan-pasukan Jepang, dan juga ketegangan dalam hati seluruh rakyat Indonesia mengenai siapakah yang akan datang pertama dari tentara Sekutu, tentara Inggris, atau Belanda? Itulah "setting" Jalan Tak Ada Ujung ini, yang mengisahkan pejuang-pejuang seperti Hazil, pemusik yang bersemangat berapi-api, Guru Isa yang lembut hati dan tidak suka pada kekerasan, istrinya yang merindukan kasih lelaki. Perlawanan terhadap tentara Belanda yang hendak menjajah Indonesia, kehangatan cinta, semangat berkorbar perjuangan, ketakutan, kejahatan manusia terhadap manusia, penemuan diri di bawah siksaan, dan kemenangan manusia dalam pergaulan dengan dirinya sendiri, kekejaman peperangan.
Jalan Tak ada ujung berkisah tentang Pak Guru Isa tinggal bersama istrinya, Fatimah. Rumah tangga yang awalnya berjalan baik, baru beberapa bulan berjalan menjadi runyam saat Isa -karena alasan psikologis- tidak mampu memberi nafkah batin bagi istrinya. Namun demikian istrinya bertekad tetap menjadi istri yang baik, melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangganya. Keadaan menjadi makin tak mengenakkan saat kemudian nafkah materi pun sulit diberikan Isa karena kondisi Indonesia saat itu, menjelang agresi militer Belanda. Demi memenuhi kebutuhan dapurnya, Isa sedikit demi sedikit mulai mencuri dan menjual buku-buku tulis di sekolahnya.
Saat saat demikian, munculah Hazil. Seorang pejuang kemerdekaan yang menjadi dekat dengan Isa gara-gara kesenangan mereka bermusik klasik. Bersama Hazil, Isa pun terhisap masuk dalam lingkungan revolusioner penyelundup eks tentara Jepang ke luar Jakarta. Fatimah pun juga menjadi dekat dengan Hazil. Kedekatan yang kelak berujung perselingkuhan, meskipun keduanya tahu hal itu akan menghancurkan Isa.
Aku menyukai settingnya, menikmati bahasa zadulnya dan gaya penceritaannya yang sederhana dan sangat suka penggambaran pergolakan batin tokohnya... kalau boleh kukatakan, lebih daripada Harimau! Harimau! Di sini, karena karakter-karakter utamanya tidak terlalu banyak, hanya Isa-Fatimah-Hazil, maka ketakutan-ketakutan ketiganya dapat digali dengan lebih utuh dan mendetail. Ketakutan Isa karena mengecewakan istrinya, ketakutannya pertama kali mencuri, pertama kali terlibat insiden penembakan, semuanya diceritakan dengan halus. Demikian pula kegalauan Hazil karena takut telah mengecewakan ayahnya, Isa dan rekan-rekan perjuangannya. Fatimah juga tidak berbeda. Kekecewaannya yang lama dipendam berubah menjadi kegairahan terlarang terhadap Hazil, tidak mampu menutupi ketakutannya terhadap Isa. Semuanya.... masing-masing.... seperti menatap sebuah jalan gelap tak ada ujung.
https://www.goodreads.com/review/show/384507228
Ini adalah salah satu buku yang pernah kubaca karena tugas bahasa Indonesia pas SMA dulu.. Tapi sayangnya aku lupa persisnya ceritanya gimana. Abis, dulu bacanya karena terpaksa siih. Hehe. Sekarang buku ini udah susah didapat ya. Harusnya penerbit nerbitin lagi buku-buku sastra jaman dulu biar gampang diperoleh.
BalasHapusKalau penerbitnya masih eksis seperti YOI ini, buku-bukunya cukup mudah didapat kok, apalagi kalau sedang ada pameran buku, biasanya mereka menawarkan diskon sampai 40% #pemburudiskon :)
BalasHapus