Kamis, 23 Januari 2014

When We Were Orphans


Judul: When We Were Orphans
Judul Asli: When We Were Orphans
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Penerbit: Elex Media Komputindo (2012)
ISBN: 978-602-00-3365-5
Jumlah Halaman: 424 halaman
Penerbitan Perdana: 2000
Literary Awards: Man Booker Prize Nominee (Shortlist 2000)



Novel Ishiguro yang ini agak sulit dipahami (maksudku yaa... jauh lebih sulit dari novel-novelnya yang lain yang sudah kubaca). Mungkin karena latar setingnya yg aku kurang paham, masa-masa Shanghai di akhir perang candu, jatuhnya Chiang Kai Sek dan awal kekuasaan Ketua Mao, serta awal invasi Jepang. Atau mungkin ceritanya yang kurang mengena. Atau mungkin juga karena karakterisasi tokoh-tokohnya yang tidak sekuat biasanya. Christopher Banks galau dan membingungkan. Akira Yamashita hanya numpang lewat. Jenifer gak jelas. Paman Philip dan Wang Ku sebagai antagonis kurang tergali. Yang mencuri perhatian justru Sarah Hemmings yang sebagai wanita di jaman itu, tapi tahu persis apa yang diinginkannya.



Kisah diawali di London di tahun 1920-an. Christopher Banks baru saja menamatkan sekolahnya dan sedang mencoba karier sebagai seorang detektif partikelir, meskipun sebagian orang menganggap pekerjaan itu hanyalah sebuah keisengan belaka sebelum ia mencari sebuah pekerjaan 'sebenarnya'. Namun bagi Christopher, pekerjaan sebagai detektif sungguh-sungguh dianggapnya sebagai panggilan jiwa karena sebab-sebab pribadi yang baru akan dijelaskan menjelang pertengahan novel. Nah, pada sebuah pesta yang dihadirinya, seorang gadis mencuri perhatiaan Christopher karena kecantikannya. Sarah Hemmings. Selain cantik Ms. Hemmings ini tipe perempuan yang ambisius. Ia berusaha keras menaiki tangga pergaulan sosial untuk mencari seorang suami yang mampu memberikan peran penting baginya di masyarakat!
"Seandainya orang tuaku masih ada sekarang, mereka akan mengatakan padaku sudah waktunya untuk menikah. Dan mungkin memang benar. Tetapi aku tidak akan melakukan hal yang dilakukan begitu banyak gadis lain. Aku tidak akan membuang-buang seluruh cinta, energi dan kecerdasanku - sesedikit apapun - pada pria tak berguna yang mengabdikan diri pada golf dan menjual obligasi di kota. Jika aku menikah, aku akan menikah dengan seseorang yang sungguh-sungguh memberikan sumbangan. Maksudku pada kemanusiaan, dunia yang lebih baik. Apakah itu ambisi yang sangat buruk? ... aku tidak akan terima jika ditakdirkan menyia-nyiakan seluruh hidupku untuk seorang pria menyenangkan, sopan, santun, namun tak berguna secara moral." 

Diawali pertemuan-pertemuan 'tak sengaja' yang membuat keduanya saling mempermalukan satu sama lain, Christopher dan Sarah malah akhirnya menjadi teman baik yang sangat mengerti pribadi masing-masing.

...
...
...

Tahun-tahun berlalu. Christopher kini benar-benar telah menjadi detektif yang mumpuni dan disegani kalangan atas Inggris. Namun kini ia dihantui oleh masa lalunya. Karena sebuah percakapan yang dilakukannya dengan Sarah, ia mulai mengingat masa-masa kecilnya di Shanghai hingga sebuah peristiwa memulangkannya ke Inggris. Ternyata Ayah dan Ibu Christopher diculik di Shanghai dan hingga kini tidak jelas nasibnya. Sarah saat itu hampir menjadi istri dari Sir Cecil Medhurst, diplomat senior jelang pensiun, yang diharapkan mampu melakukan satu hal lagi, mencegah perang di kawasan Cina, khususnya di Shanghai, mengingat kepentingan dagang Inggris di kawasan tersebut.

Keberangkatan Sarah ke Shanghai menggelitik benak Christopher. Ia kemudian mengumpulkan semua serpihan fakta dan bukti yang telah dikumpulkannya selama berrtahun-tahun tentang penculikan kedua orangtuanya, dan menyusul berangkat ke Shanghai. Di sana ia mulai menyusuri semua kebenaran tentang perusahaan tempat Ayahnya bekerja dan peran Ibunya dalam melawan perdagangan candu. Meskipun mendapat banyak halangan dan sarkasme dari berbagai pihak, menghadapi pertempuran yang mulai pecah di sana sini, penyelidikan Christopher mulai mendapat titik terang. Sementara itu, Sarah sama sekali tidak bahagia dalam pernikahannya. Suaminya yang mulai kehilangan pamor dalam urusan diplomasi dan tenggelam dalam ilusi candu dan judi. Sampai di suatu titik, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya. Christopher harus memutuskan, apakah ia akan mengikuti Sarah seperti keinginannya yang terpendam selama ini, atau menuntaskan penyelidikan dan menemukan ayah ibunya kembali.




Saat membaca novel ini, sebenarnya aku sering jengkel pada si tokoh utamanya, Christopher Banks. Dia ini tipe laki-laki yang terlaku kaku, pemarah, tidak sabaran dan sulit menyadari keinginan hatinya sendiri. Di awal kisah, pembaca sudah bisa merasakan ketertarikannya pada Sarah Hemmings. Namun hanya karena pernah 'diabaikan' sekali, ia rela membalas perlakuan itu berkali-kali, bahkan sampai mempermalukan Sarah di muka umum. Lalu saat mereka sudah bersahabat, berkali-kali Sarah menaruh harapan padanya, tapi berkali-kali pula Christopher melewatkan kesempatan-kesempatan itu. Saat Sarah telah menjadi istri orang dan pergi ke Shanghai, tiba-tiba Christopher terbangun dan 'mendapatkan' alasan untuk menyelidiki nasib orang tuanya di Shanghai. Datang sekali lagi kesempatan untuk bersama Sarah, tetap saja Christopher melewatkannya.

Nasib ya nasib, memang bukan jodoh ini judulnya. Namun yang tidak kusukai dari karakterisasi Chris Banks ini adalah ketidakdewasaannya. Berbeda dengan tokoh Stevens di Remains of the Days benar-benar menyadari bahwa perilakunya telah membuatnya kehilangan Miss Kenton dan menanggungnya dengan kewajaran super seorang gentleman-butler, atau Masuji Ono di Artist of the Floating World yang sangat paham - bahkan bangga - atas tindakan-tindakannya yang pro-invasi, Christopher di sini tampaknya - seperti yang sudah kusebutkan di atas - galau, peragu dan sering tidak sadar apa yang akan diperbuatnya atau apa konsekwensi dari perbuatannya itu.




Tapi mungkin saja, itu adalah tema utama yang ingin disampaikan keseluruhan novel ini. Sebuah Bildungsroman. Proses pendewasaan diri seorang Christopher Banks. Masa kanak-kanak di Shanghai, masa muda di London, masa sulit dan pendewasaan diri di Shanghai, lalu kembali ke London, menikmati masa tua dan menuliskan kenangan-kenangan hidupnya. Apakah akhirnya ia menyesali keputusannya yang menyebabkan dirinya dan Sarah berpisah, aku tidak yakin. Kupikir, Christopher juga tidak yakin. Satu hal yang pasti, ia akhirnya yakin apa yang dilakukannya saat itu adalah hal yang benar. Penyelesaian yang diberikan untuk nasib ayah dan ibu Chris (terutama ibunya) sangat-sangat-sangat mengharukan. Dan sekali lagi Chris yang telah melalui segala peristiwa di Shanghai, akhirnya bersikap dewasa dan merelakannya. Suka sekali di bagian itu.





Ini novel Ishiguro keempat yang kubaca, dan sama dengan semua novelnya yang lain, novel ini dipenuhi narasi-narasi panjang yang kesemuanya dilihat dari POV orang pertama, tokoh utama dari cerita. Kemiripan latar belakang kisah dengan The Remains of the Days dan Artist of the Floating World - seorang pria berumur yang menuliskan kenangan-kenangan hidupnya - memang tidak dapat dihindarkan untuk diperhatikan (Never Let Me Go juga mirip seperti ini sih, tapi tokoh utamanya seorang wanita muda yang masih menjalani kehidupannya - plus setting kisahnya yang sedikit sci-fi). Alur penceritaan yang dituliskan berselang-seling antara kejadian di masa muda Christopher di London dengan masa kanak-kanak menjelang penculikan kedua orang tuanya, terkadang terasa melantur kemana-mana. Namun sebenarnya itu semua seperti membuka sebuah album foto lama yang masing-masing lembarnya kemudian menceritakan potongan kisah sendiri, dan hanya dengan mendengarkan semua kisah itu, maka gambaran sepi si tokoh utama itu akan terlihat.




https://www.goodreads.com/review/show/823289466

2 komentar:

  1. Buku ku ini masih nangkring di tumpukan u.u Huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. perlu mood yg bagus buat tahan baca buku ini :))

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget