Senin, 08 September 2014

Senja di Jakarta


Judul: Senja di Jakarta
Judul Asli: Twilight in Djakarta
Pengarang: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia (2009)
ISBN: 978-979-46-1115-9
Jumlah Halaman: 406 halaman
Penerbitan Perdana: 1963

Sinopsis

Dalam novel Senja di Jakarta, Mochtar Lubis telah menyayat penghidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu tahun 1960-an, dan dengan kejernihan yang mengerikan berhasil membuka arus-arus kemiskinan, korupsi dan kejahatan yang mengalir dengan deras di bawah permukaan kehidupan setiap hari di kota Jakarta, yang merupakan salah sebuah kota terbesar di Asia. Meskipun novel ini bercerita tentang kehidupan di Jakarta, namun seandainya pembaca mengikuti novel ini dengan seksama, maka apa yang diceritakan juga melukiskan berbagai kekuatan yang mempengaruhi, membentuk dan mendorong kehidupan mereka yang kaya, miskin, kaum politik dan kriminal, dan kaum intelektual, dan juga mereka yang berpindah tempat dari hidup dari desa-desa ke kota besar ini, juga di banyak negeri lain di dunia.

Seorang tokoh utama, Suryono, seorang pegawai negeri yang masih berumur muda, merupakan sebuah titik utama yang dipergunakan pengarang untuk menggambarkan betapa tali-tali yang menjerat banyak anggota masyarakat dari berbagai kelompok untuk melakukan berbagai perbuatan yang menekan dan menindas rakyat kecil, dan membuat yang kaya bertambah kaya, dan yang berkuasa tambah berkuasa, seperti amat sering terjadi dalam negeri-negeri yang belum lama merdeka.

Jakarta. 1960-an.
Indonesia masih muda, ideologi dan tata cara pemerintahan belum mendapatkan bentuk tentunya. Pergolakan tersamar yang terjadi di semua lapisan masih tertutupi kebebasan gaya hidup ala kemerdekaan yang belum lama dinikmati. Jakarta sebagai ibukota republik, menjadi pusat semua kejadian itu, dan novel ini serasa mencuplik wajah kota sesaat setelah kemerdekaan, dan mengabadikannya dalam bentuk romansa historikal yang sangat real dan gamblang.


Dalam penceritaannya, Senja di Jakarta tidak segan memperlihatkan kelas-kelas mayarakat dengan segala permasalahannya masing-masing. Semuanya tokoh-tokohnya sama-sama menyusuri jalanan kota Jakarta meskipun tak semua alur mereka saling bersinggungan. Kelas bawah diwakili oleh para pengangkut sampah, penarik delman dan pelacur jalanan, kelas menengah diwakili para pegawai kementrian dan kaum terpelajar, serta kaum elite yang diwakili para pengusaha kaya dan petinggi partai.

Kisah dibuka dengan memperkenalkan Saimun dan Itam, keduanya kuli sampah yang tinggal bersempit-sempit di gang kumuh. Masalah terbesar yang dihadapi keduanya sangat sederhana, masalah perut! Jangankan memikirkan hal lain, makanan untuk sehari saja musti didapat dengan kerja keras dari sebelum terbitnya matahari hingga jauh malam, ditera hujan dan panas. Meskipun demikian Saimun bermimpi punya penghidupan yang lebih baik, ia rela bekerja lebih dengan mencuci bak truk sampah yang digunakan sebagai imbal kursus setir mobil yang diterimanya. Dengan ketrampilan barunya ini ia berharap kelak dapat menjadi sopir oplet, yang bisa kerja tidak usah menahan bau dan bisa punya uang seringgit dua ringgit lebih banyak (hasil bertanya sana-sini baru tahu ternyata seringgit itu adalah 2,5 rupiah!!). Saimun dan Itam sempat berbagi rumah (dan tempat tidur) dengan Neneng. Tapi kemudian Neneng memilih jalan hidup lain, ia menjadi pelacur pinggir jalan demi menyambung hidupnya. Selain itu ada pula Pak Ijo, kusir dan pemilik delman istimewa kududuk di muka yang makin terpinggirkan. Penghasilannya tidak menentu dan amat sangat pas-pasan menghidupi istri dan seorang anaknya, ditambah lagi ia sekarang bertambah tua dan sakit-sakitan.

Di alur kedua, pembaca menemui Raden Kaslan, pengusaha sukses kaya raya sekaligus petinggi Partai Nasional yang dipimpin oleh Husin Limbara, Tambahkan dalam campuran ini Halim, seorang wartawan senior yang tulisannya bisa dibeli oleh penawar tertinggi, maka teraduklah dengan wangi aroma korupsi, kolusi dan nepotisme tingkat tinggi. Nasib seluruh negeri diatur di bawah tangan dengan satu tujuan utama, bertambah seberapakah kekayaanku hari ini.

Di antara kaum tertindas dan kaum elite inilah, tulang punggung negara yang sebenarnya berada, kaum muda dan terdidik, pekerja level menengah, dengan pandangan-pandangan dan permasalahan hidupnya sendiri-sendiri. Di sini ada Pranoto, pemikir dan budayawan muda nan idealis, Akhmad, pemimpin organisasi buruh, Yasrin, penulis dan penyair yang merasa tidak bisa berkembang di negerinya sendiri, Murhalim, pegawai negeri yang tidak puas akan kondisi kantornya, Suryono, putra tunggal Raden Kaslan yang akhirnya lebih memilih jalan mudah yang telah disediakan sang Ayah, serta Iesye, perempuan muda dengan opini modern dan mandiri. Keenam orang ini kerap berkumpul dan berdiskusi mengenai keadaan negri ini. Monolog-monolog menarik muncul dari diskusi mereka ini karena masing-masing tokoh sengaja dipajang dengan idealisme yang berbeda, dari yang condong ke 'kiri' hingga yang paling liberal. *lumayan seru mengikuti halaman demi halaman berisi diskusi ini, terutama karena ini ditulis pra-1965, sehingga pandangan idealisme Marxism dan komunisme masih lebih terbuka dibicarakan. Meskipun sama sekali tidak mendalam, tapi cukup membuka wawasan bahwa pernah ada jaman sebelum Orde Baru, di mana berbagai idealisme bisa ditimbang-timbang dan dipertentangkan dengan cara terpelajar.*

Di luar kelompok diskusi tersebut, dalam dunia kehidupan nyata, ada Sugeng, seorang pegawai negeri yang sedang menanti kelahiran anak keduanya. Hasnah, sang istri sudah bolak-balik menagih janji kehidupan yang lebih layak bagi keluarga mereka. Didasari rasa sayang dan tidak tega, Sugeng akhirnya bergabung dengan Partai Nasional, dan menjadi petugas yang melicinkan jalan bagi praktek korupsi partai itu, tentu saja dengan imbalan yang amat sangat memadai bagi Sugeng dan keluarganya. Lalu di sebelah rumah petak Sugeng, tinggalah Dahlia dan suaminya, Idris, yang juga bekerja sebagai pegawai negeri jujur yang sering harus pergi meninjau ke berbagai tempat. Walau gaji tak seberapa, uang komisi selalu ditolak, alhasil Dahlia yang menyenangi 'barang-barang bagus' pergi mencari uang kebutuhannya sendiri.

Hal lain yang kudapati juga menarik dalam novel ini, di setiap akhir babnya, selalu ada Laporan Kota, kisah-kisah pendek laiknya potongan artikel surat kabar mengenai berbagai hal dalam masyarakat, dari kisah kriminal penjambretan, pembunuhan, dll, hingga kisah seseorang yang sudah berlama-lama berteduh menunggu hujan reda tapi malah basah kuyup terciprat air dari ban mobil yang melintas. Selingan yang unik, sekaligus memberi warna-warni lain pada wajah Jakarta ini.

Endingnya, sama seperti semua novel Mochtar Lubis lainnya, dera moral selalu mengiringi tokoh-tokohnya. Di akhir kisah, masing-masing tokoh yang rakus dan bersalah seakan-akan mengalami pembalasan yang setimpal dengan 'kejahatan' yang dilakukannya dalam cerita. Meskipun demikian penggambaran halusnya bahwa kehidupan terus berjalan, membuat novel ini sangat realistis dan meninggalkan kesan dalam bagiku.


Jika ada satu hal saja yang terasa sedikit pahit, adalah bahwa tokoh-tokoh wanita dalam novel ini (kecuali Iesye mungkin) digambarkan sangat tipis iman, gila harta, dan berpotensi menjerumuskan suami mereka. Semuanya, dari Fatimah, Dahlia, Hasnah bahkan juga Neneng. Memang sih, penggambaran tokoh-tokoh prianya juga tidak bersih-bersih juga, tapi kok aku merasa para perempuan di sini semuanya hanya berperan sebagai pelengkap penderita sekaligus setan penggoda.... #eaaaa *gendertalk*


* * *


Untuk cetakannya, bagus dan jelas, font dan spasi normal meskipun ukuran bukunya sendiri adalah buku saku (mass market paperback). Typo, ada beberapa, kebanyakan adalah tentang penggunaan tanda baca dan kata-kata yang tidak sesuai EYD modern *yah mungkin karena ini dicetak sesuai skrip aslinya dari tahun 1960-an itu*. Covernya... ah sudahlah... demikianlah adanya... cover buku-buku terbitan YOI memang semuanya seperti itu... no-comment saja lah. ^^



Notes:
Cover versi P.T. BPIR (1970)

Isi novel ini mungkin terasa bikin sedikit gerah para petinggi Republik di masa lalu, jadi meskipun ditulis di masa yang sama dengan setting ceritanya, tetapi tidak pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia sampai bertahun-tahun ke depan (1970 oleh P.T. Badan Penerbit Indonesia Raya). Edisi yang pertama kali terbit justru adalah edisi Bahasa Inggris di tahun 1963, dengan judul Twilight in Djakarta (Hutchinson & Co. translation by Claire Holt) dan dalam Bahasa Belanda Schemer over Djakarta (1964).

Source:wikipedia.


Awalnya, novel ini akan diberi judul Yang Terinjak dan Melawan (Those Who are Stepped On and Fight Back) --yang diambil dari salah satu adegan paling memorable dalam novel, saat konglomerat paling kaya bersiteru dengan orang paling miskin papa. Sinis sekaligus miris. Tetapi entah atas pertimbangan apa, judulnya diubah seperti yang kita kenal sekarang (apa mungkin karena jika judulnya ditranslasikan ke bahasa Inggris, jadi kepanjangan dan tidak menjual kali ya). Imho, judul Senja di Jakarta ini kesannya lebih muram dan lebih lembut, tidak garang seperti judul aslinya.



Novel ini pernah pula difilmkan dengan judul Sendja di Djakarta di tahun 1967. Sayangnya selain judul film, sutradara dan casting pemainnya, tidak ada data lain yang bisa saya temukan di IMDB, atau tempat lainnya.






4 komentar:

  1. Bacaan yang berat ini mah. Tapi bikin penasaran

    BalasHapus
  2. novel-novel pak mochtar lubis selalu 'dalem' tapi asyik kok waktu dibaca. harimau-harimau dan jalan tak ada ujung juga.

    ayuk dibaca yuk, karya klasik indonesia lo ini.... :)

    BalasHapus
  3. Novel mochtar lubis memang selalu 'berisi'. novel ini juga sepertinya menatik.

    BalasHapus
  4. iya mbak, aku selalu suka karya-karya si bapak ini :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget