Judul: Furin Kazan (Strategi 'Penaklukan Benteng' Yamamoto Kansuke)
Judul Asli: 風林火山 - Furin Kazan
Pengarang: 井上 靖 - Yasushi Inoue
Penerjemah: Dina Faoziah, Fatmawati Djafri
Penerbit: Kansha Books (2010)
ISBN: 9786029719604
Jumlah Halaman: 288 halaman
Penerbitan Perdana: 1953
Lihat sinopsis
Yamamoto Kansuke hidup pada zaman Sengoku Jidai; di mana perang saudara dan perebutan wilayah melingkupi wilayah Jepang. Kansuke dipandang sebelah mata karena kakinya yang pincang dan matanya yang buta sebelah. Hingga pada suatu ketika ia bertemu dengan jenderal Itagaki, yang memberinya kesempatan untuk mengabdi kepada daimyo Takeda dari Provinsi Kai.
Takeda Shingen yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, mengangkat Yamamoto Kansuke sebagai ahli strateginya. Bakat Kansuke dalam diplomasi dan pemahamannya akan strategi perang, membuat klan Takeda sukses besar. Namun agenda terbesar mereka adalah mengalahkan pasukan Echigo yang dipimpin oleh Uesugi Kenshin Kagetora. Pertempuran tersebut dikenal dengan peperangan Kawanakajima, dan sejarah mencatatnya sebagai salah satu peperangan terbesar pada zaman Sengoku Jidai. Mampukah strategi Yamamoto Kansuke mengalahkan pasukan Echigo?
Diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang, Furin Kazan akan membuat para pembacanya lebih merasakan nuansa Jepang kala itu.
Mungkin ini masalah ekspektasi dan aku yang tidak membaca tag bukunya dengan benar. Di bagian atas judul memang telah ada penjelasan bahwa buku ini berkisah tentang "Strategi Penaklukan Benteng Yamamoto Kansuke" jadi (meskipun judul bukunya Furin Kazan yang jadi banner Takeda Shingen) tentu saja novel historis ini berkisah tentang Yamamoto Kansuke dan strategi-strategi perang yang dilakukannya selama membantu Sang Tuan, yaitu Shingen... sedangkan aku awalnya mengira ini lebih pada pelaksanaan strategi Furin Kazan itu sendiri yang bikin Shingen disuyudi sedemikian, bahkan bisa dikatakan ditakuti baik oleh Uesugi Kenshin maupun Oda Nobunaga, kelak di penghujung usianya.
Jadi, tentang bukunya sendiri, ini lebih ke semacam historic-war-biography dari seorang Ahli Strategi Yamamoto Kansuke sejak ia masuk mengabdi kepada Klan Takeda yang dipimpin Shingen, sampai saat kematiannya. Selain membahas masalah strategi perang, juga banyak menunjukkan intrik di kediaman Takeda, dari masalah istri dan putra-putra resminya hingga selir-selir dan putra-putri lainnnya. Kansuke entah mengapa lebih suka mengabdikan dirinya pada seorang selir dari wilayah Suwa, Putri Yuu, dan putranya Katsuyori. ***seingatku, nanti memang Takeda Katsuyori ini yang menjadi penerus Shingen dan berperang dengan Nobunaga (ok, sudah cek ke om wiki, benar begitu adanya! Terbukti saia sudah terlalu banyak baca manga dan nonton pelm Jepun inih... :p )*** Nah, tapi karena dukungannya ini, banyak pula masalah yang dihadapi Kansuke selama mengabdi.
Satu hal yang menjadi ciri Kansuke, adalah dia berpikir 3-4 langkah ke depan. Misalnya saat pemberian nama kecil Katsuyori, semua orang mengusulkan nama Saburo, yang berarti putra ketiga. Namun Kansuke mengusulkan nama lain yang sama sekali netral, Shiro. Setelah dimintai penjelasannya, ternyata dia memikirkan bahwa kelak di kemudian hari, dari hasil berbagai peperangan dan perjanjian, pasti akan ada anak adopsi dari klan lain yang diberikan kepada klan Takeda, yang mungkin lebih tua dari Shiro, jadi mestinya dia tidak pas lagi bernama putra ketiga. Oh, begitu.... Demikian pula dengan masalah pembangunan Benteng atau saat membuat perdamaian atau saat menyerang yang tak terduga. Kansuke (dan Shingen) bisa berpikir cerdik, mengantisipasi semua kemungkinan.
Sayangnya, nasib Kansuke naas saat satu pertempuran besar melawan Uesugi Kenshin, Daimyo dan Jendral besar Echigo, lawan sebanding Shingen sepanjang hidupnya. Dan buku ini juga berakhir mendadak, tanpa epilog tanpa penjelasan lanjutan sama sekali, saat Kansuke tewas di medan perang tersebut.
Untuk gaya penulisannya, aku ternyata lebih suka narasi-narasi indah Yoshikawa Eiji-sensei daripada gaya lugas Inoue Yasushi-sensei di sini. Memang mungkin gaya ini lebih cocok untuk novel biografi semacam ini, tapi aku jadi kurang menangkap gambaran pribadi Kansuke seutuhnya. ***Setelah review ini, aku bermaksud menuliskan sebuah review novel hisfic juga, karya Yoshikawa-sensei, dalam periode sejarah yang sama, tetapi dari sudut pandang Uesugi Kenshin - lawan terberat Shingen. Kurasa dua buku ini memang harus dibaca bersamaan, supaya punya gambaran pribadi Shingen dan Kenshin secara lebih pas. Tungguin yaa....***
Oh iya, dan edisi terjemahannya ini ada beberapa typo, belum sampai taraf mengganggu sih, tapi cukup untuk tertangkap saat membaca.
Tentang FURIN KAZAN (INRAI)
Fūrinkazan (風林火山), secara literal berarti Angin, Hutan, Api, Gunung (Fū/Kaze (Angin), Rin/Mori (Hutan), Ka/Kasai (Api) dan San/Yama (Gunung)).
Moto ini digunakan dalam panji-panji perang yang digunakan Takeda Shingen berdasarkan kutipan 4 frase dalam Buku Strategi Sun Tzu, The Art of War. Dalam versi aslinya, kalimatnya berbunyi,
故其疾如風,其徐如林Sebenarnya masih ada dua baris strategi lagi dalam frase-frase ini, yaitu
侵掠如火,不動如山
Moving as swift as the wind,
stay as silent as forest,
offend as fierce as fire,
defend as unmoveable as a mountain
難知如陰, 動如雷霆"
Hiding as formless as the shadow - In/Kake (Shadow)Dengan menggunakan kebijakan dan strategi militer ini, Takeda Shingen berhasil mempertahankan kedudukannya sebagai Daimyo Kai dan bahkan meluaskan wilayahnya hingga Suruga, Shinano utara, dan Kōzuke barat. Shingen dikenal sebagai Daimyo paling berpengaruh di masa-masa akhir periode Sengoku (bersama musuh besarnya, Daimyo Echigo Uesugi Kenshin) sebelum akhirnya periode ini berakhir dengan unifikasi di tangan Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu.
Attack as quick as the speed of thunder - Rai/Kaminari (Thunder)
Source: Wikipedia & Other Sources
Tentang Yasushi Inoue
Yasushi Inoue (井上 靖 - Inoue Yasushi, 6 Mei 1907 – 29 Januari 1991) adalah penulis Jepang yang sangat terkenal dengan karya-karya Historic-Fiction-nya, namun sebenarnya ia juga pawai menuliskan novel semi-autobiografi, novella dan cerpen dengan penuh humor, metafora dan pesan kebaikan seperti Shirobamba dan Asunaro Monogatari, yang sebagian besar bersetting pada kehidupan pengarang sendiri — Jepang di awal 1950an — dalam perpektif yang blak-blakan.
Pada tahun 1949 ia menerbitkan karya pertamanya, dua buah novela Ryoju dan Tōgyu (The Bullfight), yang kemudian memenangkan penghargaan bergengsi Akutagawa Prize di tahun berikutnya. Apapun yang ditulisnya, novel, novela maupun cerpen, tendensi Inoue untuk melakukan riset mendetail dan mendapatkan nilai sejarah yang akurat, memberi kisah-kisahnya rasa keaslian yang tajam.
Source: Wikipedia, Goodreads & Other Sources
https://www.goodreads.com/review/show/117688656
sepertinya aku juga punya novel ini mbak, sepertinya.... *sudah lupa TBR isinya apa aja* *puk puk timbunan*
BalasHapusini jg baru keluar dari lautan timbunan kok mide... demi rc... :))
Hapus*ikut pukpuk timbunan*