Judul: Blindness
Judul Asli: Ensaio sobre a Cegueira
Pengarang: José Saramago
Penerbit: Ufuk Press (2007)
ISBN: 9791238324
Jumlah Halaman: 447 halaman
Penerbitan Perdana: 1995
Lihat sinopsis
Seorang pengemudi, di tengah kemacetan lalu lintas yang parah, mendadak buta. Seorang pelacur, pencuri mobil, polisi, bocah bermata juling, apoteker, juga seorang dokter mata, disergap penyakit ganjil yang sama: buta putih. Dunia tak menjadi gelap, tapi justru memutih, seperti susu. Hanya seorang yang berpura-pura buta yang justru tak buta. Tapi neraka segera menghadang. Pemerintah tak bernama, dengan pejabat dan tentara-tentara yang juga tanpa nama, mengkarantina mereka. Pemberontakan pun pecah...
Inilah novel yang menghunjam ke ulu terdalam persoalan kemanusiaan. Sebuah kisah tentang masyarakat yang sakit.
OH. MY. GOD.
Novel ini terasa sangat disturbing sampai ada beberapa saat yang saya pikir lebih baik saya dnf saja. Tapi takutnya, kalau tidak diselesaikan, malah lebih 'mengganggu', bukan masalah penasarannya sih, tapi lebih pada ketiadaan penyelesaian, penutup, penanda bahwa kisah ini tidak akan merambati pikiran ke mana-mana.
Dikisahkan sebuah kota perlahan-lahan mengalami kebutaan masal, dimulai dari seorang laki-laki yang sedang menyetir mobilnya, kemudian menyebar ke seantero kota. Buta putih. Buta bukan karena mata kehilangan cahaya, tapi terlalu banyak sinar.
Lalu novel ini mulai menggambarkan hilangnya kemanusiaan para manusia ini seiring hilangnya penglihatan mereka. Mulai dari kebersihan diri sendiri sampai bagaimana mereka mulai bertingkah laku layaknya orang2 tak beradab. Yang kuat menindas yang lemah. Penguasa ditentukan hanya dengan senjata dan kekerasan dan nafsu diumbar tanpa hukum dan aturan.
Di tengah situasi 'chaos' seperti ini, seorang tokoh tak buta ditampilkan, seorang wanita yang bisa melihat, menjadi saksi dan penunjuk arah bagi kawanannya. Bahkan di suatu ketika ia juga merasa perlu menjadi malaikat pembalas dendam. Wanita ini mungkin perlambang selalu adanya harapan akan keteraturan dan nilai-nilai moral, tapi ia juga manusia yang bisa menyimpan kemarahan yang siap meledak.
"Satu-satunya mukjizat yang bisa kita pertunjukkan adalah bertahan hidup, melindungi rapuhnya kehidupan dari hari ke hari, seolah kehidupan itu buta dan tak tahu harus ke mana, dan mungkin memang seperti itu. Mungkin dia betul-betul tidak tahu, menaruh dirinya di tangan kita, setelah memberi kita akal, dan inilah yang kita buat darinya."
Pada akhirnya, si wanita ini pun kelelahan juga. Ia bahkan berharap dia juga buta, hanya agar tidak usah lagi menanggung beban menjadi mata kehidupan kelompoknya. Yah... be careful what you wished for..... #sigh
Sebuah kisah yg benar-benar mengusik pikiran.
Jika kebutaan ini benar-benar melanda, akankah kita benar jatuh dalam kenistaan dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan kita. Atau, mungkin pertanyaan besarnya adalah, apakah saat ini wabah kebutaan ini sudah datang tanpa kita sadari, dan kita telah benar-benar mulai kehilangan rasa kemanusiaan kita di tengah hiruk-pikuk keduniawian.... #sokfilosofis
*heyaaaa... terlalu dalam mikirnya sampai keblusuk sendiri* pisssss en luv
Notes:
Ternyata novel ini sudah diangkat dalam bentuk film dengan judul sama di tahun 2008. Disutradarai oleh Fernando Meirelles dan dibintangi oleh Julianne Moore dan Mark Ruffalo (eh, ada Gael García Bernal juga nih).
Tapi kayaknya filmnya terlalu berat dan "mengerikan" sampai-sampai hanya mendapatkan nilai 6.6 di IMDB.
Biar begitu, aku tetep pengin nonton filmnya inih....
See more at IMDB
Lihat trailer:
Tentang pengarang:
José de Sousa Saramago, (16 November 1922 – 18 Juni 2010), adalah penulis Portugis dan penerima Hadian Nobel Sastra tahun 1998. Hasil karyanya dapat dilihat sebagai alegori, biasanya mencitrakan perspektif subversif dari kejadian-kejadian dalam sejarah dan menekankan pada faktor manusianya. Lebih dari 2 juta kopi dari bukunya sudah terjual di Portugal saja dan sebagian sudah diterjemahkan dalam 25 bahasa.
Sebagai seorang atheis dan komunis liberal yang cukup vokal, Saramago sering dikritik oleh lembaga-lembaga seperti Gereja Katholik, Uni Eropa dan bahkan IMF. Tapi saat tulisan-tulisannya mulai disensor secara politis, ia memilih mengasingkan diri ke Lanzarote, Spanyol sampai kematiannya di tahun 2010.
Saramago juga adalah pendiri National Front for the Defense of Culture di Lisabon in 1992, dan co-founder dari European Writers' Parliament (EWP) bersama Orhan Pamuk.
https://www.goodreads.com/review/show/1547298131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar