Rabu, 29 Januari 2014

Wonderstruck

Judul: Wonderstruck
Judul Asli: Wonderstruck
Pengarang: Brian Selznick
Penerbit: Bentang Pustaka (2013)
ISBN: 978-979-43-3685-4
Jumlah Halaman: 648 halaman
Penerbitan Perdana: 2011
Literary Awards: Schneider Family Book Award for Middle School Book (2012), Buckeye Children's Book Award for 3-5 (2012)


Wonderstruck.

 won·der·struck
 ˈwəndərˌstrək/
 adjective
  1.  1.
    (of a person) experiencing a sudden feeling of awed delight or wonder.      


Judul yang sangat sesuai untuk novel ini, karena memang itulah perasaan yang aku dapati saat membacanya. Tiba-tiba terserang rasa senang yang bukan kepalang, hingga tak terasa 600-an halaman buku ini diselesaikan dalam beberapa jam saja. Bukan karena tiba-tiba aku punya talenta superhero ala Flash atau kemampuan baca super cepatnya Dr. Reid, tapi memang novel ini separuhnya berbentuk tulisan (yang font-nya cukup lebar sehingga mudah dinikmati mata lelahku -- kayaknya ukuran kacamata sudah perlu di tes ulang ini #malahcurhat), dan separuhnya lagi diberikan dalam bentuk ilustrasi ala wordless novel.



Bagi yang sudah pernah menikmati novel The Invention of Hugo Cabret (review-ku sila lihat di sini) karya pengarang yang sama pasti tahu apa yang kumaksud, persis seperti itu. Bedanya jika di Hugo, tulisan dan ilustrasi silih berganti saling melengkapi menceritakan hal berkelanjutan, di Wonderstruck ini tulisan dan ilustrasi benar-benar menceritakan hal-hal yang berbeda. Tulisan itu milik pov-nya Ben, sedangkan ilustrasi adalah milik pov-nya Rose. Mereka berdua berganti-gantian bercerita, seakan-akan menggunakan media yang bisa mereka pakai dalam kekurangan mereka. Ben yang baru saja kehilangan pendengarannya hanya dapat berkomunikasi dengan tulisan, sedangkan Rose terasing dalam ketuliannya menggunakan gambar dan bentuk menggantikan suara.

Selain keunikan cara bertuturnya, jalinan cerita yang diberikan novel ini juga sangat menarik. Ben adalah seorang bocah yang baru saja ditinggal mati ibunya dan ingin mencari ayah kandungnya. Rose adalah gadis cilik yang mati-matian merindukan sang ibu, kabur dari rumah untuk menemui ibunya yang ternyata adalah artis silent movie terkenal. Keduanya terdampar di kota New York, dan kemudian menemukan dunia baru penuh keajaiban di Museum of Natural History. Pada saat akhirnya Ben dan Rose bertemu, aku baru sadar maksudnya, padahal dari pertama kronologis tahun-tahunnya sudah menarik perhatianku. Aku sungguh menyukai adegan yang penuh keharuan saat pertama kali Ben masuk dalam ilustrasi cerita Rose. KEREN! Wonderstruck!

Ada dua hal lain dalam cerita yang juga sangat kusukai. Pertama adalah bagaimana sebuah buku (dan sebuah pembatas halaman dan sebuah toko buku) dapat mempertemukan dua orang yang hampir tidak pernah bertemu sebelumnya. Sebuah buku yang membawa sejarah cukup panjang, yang tiap kali berpindah tangan, disertai pula dengan segudang cinta dan pengharapan. Luv it! Wonderstruck!

Wunderkammer
Source: static.twoday.net
Hal yang kedua, aku suka sekali dengan penggambaran dan sejarah Wunderkammer/Cabinet of Wonders/ Lemari Keajaiban yang dibahas dalam buku ini. Sebuah konsep yang berkembang lebih dari seabad sebelum menjadi cikal bakal konsep museum modern ini, pertama kali kubaca dalam novel The Alchemist and The Angel (review-ku di sini) dan telah membuatku sangat tertarik. Sebuah lemari dengan koleksi unik yang membawa keajaiban tak habis-habis.

Dalam novel ini, Lemari Keajaiban selain menjadi tema buku yang telah kusebutkan di atas, dan ia juga menjadi sumber inspirasi bagi Rose dan Ben. Sekali lagi aku terkena Wonderstruck!



* * *

Dalam ucapan terima kasihnya di akhir buku, Brian Selznick menuliskan sesuatu yang tak pernah sungguh-sungguh terpikir olehku selama ini.
"Aku tertarik, khususnya pada bagian tentang sinema dan teknologi baru suara, yang diperkenalkan pada film-film pada 1927. Sebelum ini, baik populasi normal maupun penderita tuli dapat menikmati film bersama-sama. Film bersuara, untuk pertama kalinya, mengecualikan penderita tuli."

Benar juga ya. Secanggih apapun tata suara Dolby Surround di bioskop modern sekarang, jika penontonnya tuna rungu ya tidak berguna. Masih untung jika film yang ditonton itu ternyata film berbahasa asing, hingga dilengkapi dengan subtitle, jadi jalan cerita dan percakapannya masih dapat diikuti. Lha kalo nontonnya film berbahasa Indonesia?
*apa musti ada penterjemah bahasa isyarat di sudut kiri bawah layar, kayak pas berita TVRI jaman jadul :)) *

Ini kali kedua aku melihat bagaimana perubahan industri film yang berkembang dari silent movie ke film dengan tata suara ternyata membawa perubahan sosial yang sangat besar pada masyarakat di jaman itu. Yang pertama dalam film The Artist yang mengisahkan bintang film tampan yang makin tersingkir semenjak datangnya "talking movies". Dan yang kedua, tentu saja kisah Rose di novel ini. Dan selama membaca melihat ilustrasi-ilustrasi cerita Rose, nuansa yang sama seperti film The Artist itu juga mendatangiku. Hitam Putih. Silent graphic. Sepi. Terasing.

Untunglah kisah Ben dan Rose ini bukan kisah tentang keterasingan dan kesendirian. Ini adalah kisah tentang menemukan sahabat dan keluarga yang menerimamu apa adanya. Bahwa kita seharusnya bisa bahagia meskipun apapun kekurangan yang kita miliki. Dan itu, aku setuju sekali. Wonderstruck!


* * *

Edisi bahasa indonesia buku ini terbitan Mizan Fantasi/Bentang Pustaka sama seperti novel Hugo sebelumnya, sehingga plus minusnya juga sama. Kualitas kertas dan cetakannya bagus, untuk halaman-halaman ilustrasi, hitamnya kelam dan shading dan arsiran abu-abunya cukup jelas. Tapi karena ukuran ilustrasinya dua kali bidang buku, maka sebagian gambar terpotong penjilidan di punggung buku, dan beberapa ilustrasi tidak benar-benar pas sambungan halaman kiri dan kanannya. Oh iya, ada beberapa terjemahan yang tidak konsisten di beberapa penggunaannya. Misalnya di hal 409, kutipan Dante diterjemahkan "Siapapun yang masuk ke sini tak punya harapan untuk selamat" namun kemudian di hal 463 kutipan yang sama dituliskan tetap dalam bahasa Inggris font italic "Abandon all hope ye who enter here!". Itu saja, sedangkan terjemahannya sendiri tetap enak untuk dibaca.



https://www.goodreads.com/review/show/775979681
http://readbetweenpages.blogspot.com/2013/01/the-invention-of-hugo-cabret.html
http://readbetweenpages.blogspot.com/2013/01/the-alchemist-and-angel.html

4 komentar:

  1. Buku ku ini juga masih di tumpukan >.<

    BalasHapus
  2. kalo punyaku yang ini gak sempet masuk timbunan, fresh dr tokbuk langsung nyelak novel2 lain yang lagi dibaca :)

    BalasHapus
  3. Sampe sekarang berita di TVRI juga ada penerjemah yang berbahasa isyarat mbak.. X)

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh iya kah?? ketahuan udah lama ga pernah nonton tipi - tvri :D

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My Recent Pages

Recent Posts Widget